Home / Uncategorized / π——π—˜π—•π—”π—§: π—•π—˜π—§π—”π—£π—” π— π—˜π—‘π—”π—₯π—œπ—ž, π—•π—˜π—§π—”π—£π—” π— π—˜π—Ÿπ—˜π—Ÿπ—”π—›π—žπ—”π—‘

π——π—˜π—•π—”π—§: π—•π—˜π—§π—”π—£π—” π— π—˜π—‘π—”π—₯π—œπ—ž, π—•π—˜π—§π—”π—£π—” π— π—˜π—Ÿπ—˜π—Ÿπ—”π—›π—žπ—”π—‘

Oleh redaksi

Sebelum membantah, tanyakan pada diri sendiri: apakah lawan bicaramu benar-benar ingin memahami atau sekadar ingin menang?

Helen Mirren pernah berkata:

“Sebelum berdebat dengan seseorang, tanyakan pada diri sendiri: apakah orang itu cukup dewasa secara mental untuk memahami konsep sudut pandang yang berbeda? Karena jika tidak, tidak ada gunanya sama sekali.”

Dunia hari ini dipenuhi kebisingan. Kata-kata beterbangan di udara, tapi tidak selalu berbuah pemahaman. Kita hidup di era ketika orang lebih tertarik membalas daripada mencerna. Lebih suka menyerang daripada mendengar.

Jean-Jacques Rousseau pernah berkata:

“Diskusi adalah seni; tetapi mayoritas manusia lebih senang menang daripada memahami.”

Apakah kita masih bisa berbicara dengan baik di tengah lautan argumen yang hanya ingin menggulung, bukan menenangkan?

Ataukah sebaiknya kita diam dan membiarkan kebisingan itu mengurus dirinya sendiri?

π—žπ—˜π—‘π—”π—£π—” π—žπ—œπ—§π—” π—¦π—¨π—žπ—” π— π—˜π—‘π—šπ—˜π— π—˜π—‘π—§π—”π—₯π—œ π—›π—”π—Ÿ π—¬π—”π—‘π—š π—§π—œπ——π—”π—ž 𝗨π—₯π—šπ—˜π—‘π—¦π—œ?

Hari ini, media sosial seperti medan perang.

Seseorang hanya perlu mengetik beberapa kata di kolom komentar, lalu ribuan orang bisa datang menyerang atau mendukung. Ada yang berdebat dengan alasan moral, ada yang hanya ikut-ikutan. Ada yang benar-benar peduli, ada yang sekadar ingin menyalurkan emosi.

Tetapi pertanyaannya: kenapa kita merasa gatal untuk mengomentari segala hal?

Dalam psikologi, ini disebut “Dunning-Kruger Effect”, fenomena di mana seseorang dengan sedikit pengetahuan merasa lebih tahu segalanya dibanding yang sebenarnya lebih berkompeten. Kita hidup di zaman di mana setiap orang punya akses informasi, tetapi tidak semua informasi kita cerna dengan baik.

Lantas, apakah kita benar-benar ingin berdiskusi?

Ataukah kita hanya ingin membuktikan bahwa kita tahu sesuatuβ€”meskipun sebenarnya tidak penting?

Al-Qur’an mengingatkan:

“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui, karena pendengaran, penglihatan, dan hati akan dimintai pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra: 36)

Jika kita benar-benar peduli dengan sesuatu, bukankah lebih baik mendalaminya sebelum berkomentar?

Ataukah kita hanya terbiasa bereaksi sebelum berpikir?

π—žπ—˜π—£π—”π——π—” 𝗔𝗣𝗔 π—žπ—œπ—§π—” π— π—˜π— π—•π—˜π—₯π—œπ—žπ—”π—‘ π—£π—˜π—₯π—›π—”π—§π—œπ—”π—‘?

Jika melihat fenomena ini, menarik untuk mengingat kalimat Blaise Pascal:

“Semua masalah manusia berasal dari satu hal: ketidakmampuan mereka untuk duduk diam di dalam kamar sendirian.”

Kita mengomentari hal yang tidak penting bukan karena topiknya benar-benar menarik, tetapi karena kita tidak tahan dengan diam. Kita lebih takut tidak bersuara dibanding salah bicara.

Sementara itu, Rasulullah ο·Ί bersabda:

“Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. Tirmidzi)

Di zaman di mana setiap orang bisa berbicara, diam justru menjadi keterampilan yang langka.

π—£π—˜π—₯π——π—˜π—•π—”π—§π—”π—‘: π—£π—œπ—Ÿπ—œπ—› π—•π—˜π—₯π—•π—œπ—–π—”π—₯𝗔 𝗔𝗧𝗔𝗨 π— π—˜π—‘π—π—”π——π—œ π—§π—˜π— π—•π—’π—ž?

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik serta berdebatlah dengan mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS. An-Nahl: 125)

Ayat ini bukan sekadar seruan untuk berdiskusi, tetapi juga pengingat bahwa cara kita menyampaikan kebenaran itu penting.

Ada dua jenis perdebatan.

Yang pertama, seperti air yang membasuh debu. Kata-kata menjadi jembatan pemahaman, membawa manusia ke titik temu. Tak ada pemenang atau pecundangβ€”hanya kebijaksanaan yang bertumbuh.

Yang kedua, seperti api yang melahap oksigen. Tidak peduli seberapa logis argumenmu, lawan debatmu tidak ingin mendengar. Ia hanya ingin memangsa lawan bicaranya. Dan semakin kamu menjelaskan, semakin ia mengubah kata-katamu menjadi bahan bakar untuk kemarahannya.

Rasulullah ο·Ί bersabda:

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari & Muslim)

Tidak semua perdebatan perlu dijalani. Sebab ada orang yang tidak mendengar untuk memahami, tetapi hanya mendengar untuk membalas.

Ada orang yang tidak ingin menemukan kebenaran, tetapi hanya ingin menang.

Dan ketika kau berhadapan dengan seseorang seperti itu, percayalah: berdebat dengannya sama seperti berbicara dengan tembok.

π—£π—œπ—Ÿπ—œπ—›π—Ÿπ—”π—› π—£π—˜π—₯𝗧𝗔π—₯π—¨π—‘π—šπ—”π—‘ 𝗠𝗨

Ada perdebatan yang layak diperjuangkan.

Ketika kebenaran diinjak, keadilan dikaburkan, dan suara-suara yang kritis dibungkam, maka diam bukanlah pilihan.

Allah SWT berfirman:

“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang yang zalim di antara mereka.” (QS. Al-Ankabut: 46)

Di sini kita diajarkan untuk tetap menyampaikan kebenaran, tetapi juga diajarkan untuk tidak membuang waktu dengan orang-orang yang hanya ingin merusak.

Rasulullah ο·Ί bersabda:

“Aku menjamin sebuah rumah di surga bagi orang yang meninggalkan debat meskipun ia berada dalam kebenaran.” (HR. Abu Dawud)

Ada waktunya berargumen.

Ada waktunya melangkah pergi.

Dan ada waktunya membiarkan kebodohan runtuh dengan sendirinya.

Karena tidak semua orang siap untuk mendengar.

Dan itu bukan beban yang harus kita tanggung.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *