Home / Sosial / 100 Juta gaji serta Ilusi Kelas : Proletar Tetap Proletar

100 Juta gaji serta Ilusi Kelas : Proletar Tetap Proletar

Oleh : Cecep Anang Hardian

Gaji ratusan juta sebulan. Kantor ber-AC, gawai terbaru, tunjangan liburan, dan mungkin akses langganan gym eksklusif. Beberapa orang merasa ini adalah tiket keluar dari kelas pekerja, sebuah paspor menuju kasta sosial yang lebih tinggi. Tapi mari kita buka kartu sekarang: kalian tetap proletar. Dan lebih buruk lagi, kalian mungkin adalah proletar yang sedang menikmati ilusi paling mahal dalam sejarah kelas pekerja modern.

Di balik flexing gaji dan gaya hidup, satu fakta pahit tersembunyi: kalian masih menjual waktu dan tenaga kepada pemilik modal. Dalam relasi kerja kapitalistik, selama kalian tidak memiliki kontrol atas alat produksi—dari software hingga saham perusahaan—kalian tetap berada dalam struktur yang sama dengan kasir minimarket, buruh pabrik, hingga pengemudi ojek daring. Perbedaan kalian hanya pada nominal angka dan desain interior kantor.

Kapitalisme Gaya Baru dan Tipuan Kasta Kerja

Orde Baru tak hanya menumpas oposisi, tapi juga menumpas kesadaran kelas. Salah satu warisan ideologisnya yang paling subtil tapi efektif adalah pembentukan kasta imajiner dalam dunia kerja: buruh, karyawan, pegawai, staf, eksekutif. Kata “buruh” dibuat identik dengan peluh dan seragam lusuh, sementara “karyawan” diasosiasikan dengan batik Jumat, laptop, dan kopi sachet di co-working space. Padahal esensinya sama: keduanya tidak punya kendali atas hasil kerjanya sendiri.

Data BPS 2023 mencatat bahwa sekitar 94 juta orang di Indonesia adalah pekerja dengan status buruh atau karyawan. Dari jumlah itu, lebih dari 70% tidak memiliki kontrak tetap. Bahkan di kalangan white-collar, status outsourcing dan kontrak jangka pendek menjadi norma baru. Mereka yang bergaji tinggi pun tetap terikat pada ketakutan kehilangan pekerjaan, target tak masuk akal, atau jam kerja yang merampas kesehatan mental.

100 Juta dan Realitas Ketimpangan

Mari bicara angka. Laporan Oxfam 2024 menyebut bahwa 1% orang terkaya Indonesia menguasai hampir 45% kekayaan nasional. Artinya, gaji 100 juta sebulan pun masih jauh dari menyentuh kekayaan borjuis sejati. Bahkan dengan gaji itu, kamu masih menyewa rumah dari developer besar, membayar cicilan mobil ke leasing, dan menggunakan produk-produk dari perusahaan multinasional yang tak pernah tidur menyedot laba.

Bank Dunia mencatat bahwa tingkat ketimpangan di Indonesia (diukur dengan koefisien Gini) cenderung stagnan tinggi, berkisar di angka 0,38–0,40 dalam satu dekade terakhir. Artinya, distribusi kekayaan dan penghasilan tetap timpang, meski upah formal naik.

Sementara itu, di dasar piramida, masih ada jutaan pekerja dengan upah di bawah UMR. Pada 2022, data BPS mencatat bahwa 33,6 juta pekerja Indonesia mendapat upah di bawah Rp2 juta per bulan. Di sektor informal, banyak pekerja perempuan hanya mendapat Rp20–30 ribu per hari tanpa jaminan kesehatan atau hari libur. Mereka bekerja di pabrik rumahan, ladang, atau menjadi tenaga kerja domestik yang invisible dalam statistik resmi.

Buruknya Mobilitas dan Mitos Meritokrasi

Satu jebakan besar dari kelas menengah bergaji tinggi adalah mitos mobilitas vertikal. Bahwa kerja keras akan membawa seseorang naik kelas sosial. Padahal, studi dari LPEM UI tahun 2021 menunjukkan bahwa mobilitas antar kelas di Indonesia sangat rendah: hanya sekitar 10–15% anak dari keluarga kelas bawah yang berhasil masuk ke kelas menengah atas. Selebihnya, sistem sudah terkunci: pendidikan mahal, koneksi elit terbatas, dan pasar kerja yang semakin terfragmentasi.

Dengan algoritma digital dan budaya kerja 24/7, hari ini kita menyaksikan pekerja muda dari generasi Z yang tampak bebas dan kreatif di Instagram, tapi burnout secara masif di balik layar. Menjadi “pekerja kreatif” atau “freelancer dengan klien global” pun tetap bagian dari model kerja yang mengekstraksi nilai tanpa perlindungan memadai. Flexing menjadi distraksi kolektif dari realitas kerja yang terus menindas.

Solusi: Kembali ke Kesadaran Kelas

Ini bukan seruan untuk menyeragamkan gaji atau menghapus kenyamanan. Tapi seruan untuk menyadari posisi. Kamu boleh punya gaji besar, tapi selama kamu tidak punya kuasa menentukan arah perusahaan, selama hidupmu tergantung pada transfer gaji setiap akhir bulan, kamu tetap bagian dari kelas pekerja.

Saatnya mengganti kebanggaan individu dengan kesadaran kolektif. Menghentikan glorifikasi jabatan pribadi dan mulai bertanya: apakah teman di divisi lain yang digaji lebih kecil juga punya hak yang sama? Apakah buruh outsourcing di bawah gedung kantormu juga dilindungi secara hukum dan moral? Apakah kamu diam saat perusahaanmu merumahkan ratusan orang demi menaikkan laba triwulan?

(Red/Edi )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *