Oleh : Cecep Anang Hardian

Pada sebuah siang yang biasa di Jakarta, sebuah berita luar biasa muncul dari Kejaksaan Agung. Tian Bahtiar, Direktur Pemberitaan dari sebuah stasiun televisi swasta nasional, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus “perintangan penyidikan.” Dua nama lain ikut menyertainya: Marcella Santoso, seorang advokat, dan Junaedi Saibih, seorang dosen.

Namun yang membuat kasus ini menggelegar bukan hanya daftar namanya, tetapi posisinya: Tian adalah jurnalis. Ia bukan kriminal, bukan mafia, bukan penjahat cyber. Ia—seorang wartawan. Ia bekerja dalam dunia yang diidealkan sebagai pilar keempat demokrasi. Dunia yang seharusnya dilindungi, bukan dimusuhi oleh negara.

Bekerja di Bawah Bayang-Bayang Kekuasaan

Kejaksaan Agung bukan institusi sembarangan. Ia setingkat kementerian. Dalam struktur negara, Kejaksaan berada langsung di bawah Presiden. Ini berarti, keputusan-keputusan strategisnya, apalagi yang menyangkut tokoh publik atau media, hampir mustahil tidak diketahui atau tidak disetujui oleh Presiden.

Dengan kata lain, jika seorang direktur pemberitaan ditetapkan sebagai tersangka, maka itu bukan sekadar keputusan hukum—itu keputusan politik.

Apa yang Sebenarnya Sedang Disidik?

Publik pun bertanya-tanya: apa sebenarnya yang dihalangi Tian Bahtiar? Apakah jurnalisme kritis kini dianggap sebagai bentuk “perintangan penyidikan”? Apakah siaran investigatif yang menyentuh kepentingan elite kini bisa dianggap sebagai penghalang hukum?

Tanpa transparansi dalam kasus ini, ruang tafsir makin terbuka. Dan tafsir yang muncul, tentu bukan tafsir yang menyenangkan: bahwa negara mulai tidak nyaman dengan kebenaran.

Demokrasi yang Goyah, Pers yang Dikerangkeng

Indonesia bukan kali pertama menghadapi momen genting seperti ini. Namun setiap kali negara mulai memandang jurnalis sebagai ancaman, bukan mitra dalam menjaga kewarasan publik, maka kita tahu: demokrasi sedang masuk masa surutnya.

Jurnalisme yang sehat akan mengganggu kekuasaan. Tapi justru dari gangguan itulah negara bisa terhindar dari kebutaan.

Presiden dan Diam yang BerbunyiYang lebih sunyi dan justru lebih bising adalah diamnya Presiden. Tidak ada klarifikasi, tidak ada pernyataan penyeimbang. Padahal dalam struktur kekuasaan, Presiden bisa, jika mau, menjadi pelindung bagi pers. Tapi kali ini, Presiden memilih diam.

Dan dalam politik, diam bukan sekadar ketiadaan suara. Diam adalah bahasa. Dan dalam kasus ini, diamnya Presiden bisa dibaca sebagai persetujuan diam-diam.

Kita Semua Bisa Menyusul

Hari ini seorang direktur pemberitaan. Besok bisa siapa saja: wartawan lapangan, redaktur, bahkan Anda yang menulis kritis di media sosial.

Jika negara berhasil membungkam satu suara kebenaran, maka ia akan belajar membungkam yang lain. Dan sebelum kita sadar, kita telah hidup di negara yang sunyi dari kritik, tapi riuh oleh propaganda.

Kebenaran Tidak Bisa Dipenjarakan

Pada akhirnya, sejarah selalu membuktikan: kebenaran mungkin bisa dibungkam, tapi tidak bisa dibinasakan. Seperti api kecil yang ditiup angin, ia mungkin padam sebentar, tapi akan menyala lebih besar saat waktunya tiba.

Dan Tian Bahtiar apapun nanti putusan hukumnya akan dikenang bukan hanya sebagai seorang jurnalis. Ia adalah simbol dari keberanian di tengah ketakutan. Dari suara di tengah bisu. Dari mereka yang percaya bahwa kebenaran tetap layak diperjuangkan—meski dengan resiko kehilangan segalanya.

( Red )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *