Home / Peristiwa / Anarko : Hantu Baru di Republik yang Takut pada Bayangannya Sendiri

Anarko : Hantu Baru di Republik yang Takut pada Bayangannya Sendiri

Di negeri yang katanya merdeka, kita tak pernah betul-betul bebas dari kebutuhan menciptakan musuh imajiner. Dahulu, ia disebut “PKI”—sebuah tiga huruf yang dijadikan jimat untuk menakuti rakyat, membungkam kritik, dan menyucikan kekuasaan. Kini, kata itu telah aus, tak lagi menakutkan generasi muda yang tahu bahwa sejarah ditulis oleh yang menang dan dikaburkan oleh yang berkuasa.

Maka lahirlah label baru: Anarko.
Liar. Hitam. Tak terdefinisi dengan pasti, tapi cukup menakutkan untuk dijadikan senjata framing.

Padahal, sejarah “anarko” bukanlah selembar grafiti yang disemprotkan sembarangan di tembok kota. Ia adalah hasil pergulatan panjang pemikiran yang lahir dari luka: luka kaum buruh, petani tak bertanah, dan manusia-manusia yang dihimpit sistem tak adil. Anarkisme, sebagaimana dicetuskan oleh tokoh-tokoh seperti Mikhail Bakunin dan Emma Goldman, adalah panggilan untuk kesetaraan, bukan kekacauan; perjuangan melawan dominasi negara dan kapital, bukan kerusuhan murahan demi sensasi.

Namun di Indonesia, “anarko” dicerabut dari akar ideologinya, dijadikan karikatur—topeng yang dilemparkan ke wajah siapa pun yang berani berdiri dan bersuara. Anak muda berpakaian hitam, rambut gondrong, membawa poster, diciduk: “Anarko!” Mahasiswa yang melempar kritik tajam, dicap: “Anarko!” Bahkan pelajar yang turun ke jalan karena lapar dan tidak punya masa depan, dituding: “Anarko!”

Mari tengok ke belakang: pada tahun 2020, saat gelombang unjuk rasa menolak Omnibus Law membanjiri jalanan kota, Kapolda Metro Jaya menyebut bahwa ada “Kelompok Anarko Sindikalis” yang menyusup dan memprovokasi kerusuhan. Enam remaja ditangkap, diinterogasi, dan dipajang ke publik dengan tuduhan sebagai “Anarko”—lengkap dengan wajah tertunduk dan pakaian hitam. Belakangan, tuduhan itu lemah, buktinya tak seberapa. Tapi stigma sudah telanjur mengendap. Publik tak lagi bertanya, hanya mengangguk: “Wajar ditangkap, mereka anarko.”

Lebih absurd lagi, aktivis dari komunitas literasi dan ruang-ruang alternatif pun ikut terseret. Di Yogyakarta, ruang-ruang belajar otonom seperti Taring Padi atau Angkringan Seni pernah dicurigai sebagai sarang “kelompok anarko” hanya karena kritik sosial yang mereka angkat melalui mural dan pertunjukan. Kritik, di mata negara yang anti-dialektika, dianggap sabotase.

Tak ada pengadilan ide, tak ada ruang diskusi. Yang ada hanyalah narasi tunggal: jika engkau marah, maka engkau ancaman; jika engkau melawan, maka engkau anarko.

Di sini, “anarko” bukan lagi ideologi. Ia telah menjadi mantra. Dan mantra hanya bekerja jika rakyat tidak bertanya. Maka dijaga betul-betul agar rakyat tidak sempat membaca buku, tidak sempat membuka sejarah, tidak sempat bertanya: Mengapa yang menuntut keadilan selalu dianggap kriminal?

Kita hidup di zaman di mana kekuasaan lebih takut pada spanduk karton daripada pada koruptor. Di mana yang dilempar ke penjara bukan pelaku kekerasan, tapi pemuda yang menggambar huruf “A” di pagar kampus.

Ironisnya, ketika negara bicara “keamanan”, yang sebenarnya mereka takutkan adalah kesadaran. Karena kesadaran, bila tumbuh dalam tubuh rakyat, bisa mengguncang bangunan kekuasaan yang rapuh oleh keserakahan.

Maka mereka buat “anarko” seperti PKI: hantu tanpa tubuh, alasan untuk menangkap siapa saja. Tapi lupa, bahwa hantu punya cara aneh untuk hidup abadi: dibisikkan dari mulut ke mulut, dijaga dalam sajak, dan terus menyala dalam dada yang belum padam.

Dan mungkin, itulah yang paling mereka takuti:
Bukan poster, bukan massa aksi,
Tapi rakyat yang mulai membaca, mulai mengingat, dan mulai melawan
bukan karena marah semata,
tapi karena tahu—
siapa musuh sejati mereka.

( Red/edi )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *