*Tangerang Selatan* – Kota Tangerang Selatan makin dipenuhi deretan beton, sementara ruang terbuka hijau (RTH) yang seharusnya menjadi “paru-paru kota” justru stagnan. Berdasarkan *UU Nomor 26 Tahun 2007*, setiap kota wajib memiliki *30% RTH* dari luas wilayah. Namun, hingga kini Tangsel masih sulit memenuhi kewajiban tersebut.
Meski ada landasan hukum kuat melalui *Perda Nomor 09 Tahun 2019* (perubahan Perda Nomor 15 Tahun 2011 tentang RTRW 2011–2031), implementasi di lapangan tersendat.
Alih-alih menambah luasan hijau baru, *DLH Tangsel memilih hanya fokus pada kualitas*. Kepala Seksi Bidang Konservasi DLH mengakui bahwa strategi saat ini terbatas pada pemeliharaan dan penataan fasilitas publik.
> “Tupoksi DLH itu bukan menambah kuantitas tapi kualitas. Strategi kami dengan penanaman pohon, penataan taman kota, dan pemeliharaan tanaman serta fasilitas,” ungkapnya, 23 Februari 2024.
Pemerhati lingkungan *Cecep Anang Hardian* menilai langkah tersebut terlalu defensif dan berpotensi merugikan masyarakat dalam jangka panjang.
> “Ruang terbuka hijau bukan sekadar hiasan taman kota. Kalau hanya mengutamakan kualitas tanpa menambah luasan, Tangsel akan makin panas, banjir makin parah, dan kualitas hidup warga akan terus menurun. Target 30% RTH itu bukan opsi, tapi kewajiban,” tegasnya.
Jika tren ini dibiarkan, bukan mustahil Tangsel kehilangan paru-paru kotanya dan menghadapi risiko serius: banjir, polusi udara, hingga penurunan kualitas hidup masyarakat.
( red )