Oleh: Cecep Anang Hardian
Di Indonesia, gelar akademik sering dianggap sebagai tiket untuk dihormati, dipercaya, bahkan dianggap lebih berkompeten. Padahal, titel—dari Sarjana hingga Doktor—seharusnya tidak menjadikan seseorang otomatis layak disebut “ahli”. Gelar hanya sah ketika kemampuan keilmuannya dapat diuji secara metodologis, dapat dipertanggungjawabkan, dan relevan dengan persoalan publik.
Fenomena inflasi gelar semakin terlihat nyata. Banyak orang menjadikan titel sebagai simbol status, bukan sebagai refleksi dari kualitas keilmuan. Bahkan, tidak sedikit yang mempresentasikan diri sebagai pakar hanya karena memegang ijazah tinggi, padahal kualitas pemikiran dan analisanya jauh dari standar keilmuan yang sesungguhnya. Inilah yang perlu dikritisi secara serius.
Pertama, gelar tidak menjamin kemampuan intelektual. Keilmuan lahir dari proses panjang membaca, menganalisis, meneliti, dan menguji gagasan. Titel hanyalah pengesahan administratif. Seseorang layak dihargai dari kualitas argumentasinya, bukan dari huruf-huruf yang ditempel di belakang namanya.
Kedua, masyarakat sering terjebak pada “ilusi otoritas”. Pendapat seseorang dengan gelar panjang sering diterima tanpa kritik, seolah gelar adalah sertifikasi kebenaran. Padahal, ukuran ilmiah bukanlah titel, melainkan kedalaman analisis dan konsistensi berpikir.
Ketiga, sistem pendidikan juga perlu bercermin. Ketika pendidikan tinggi lebih banyak berorientasi pada penyelesaian tugas administratif daripada penguatan nalar kritis, maka gelar mudah diraih tetapi kapasitas ilmiahnya rapuh. Akibatnya, kita menghasilkan lulusan yang banyak memiliki gelar, tetapi miskin kemampuan membaca persoalan secara komprehensif.
Karena itu, masyarakat perlu menegaskan standar baru:
Titel akademik harus diukur berdasarkan kemampuan ilmiah, bukan sebaliknya.
Gelar seharusnya mengandung tanggung jawab moral: berbicara berdasarkan data, berpikir berdasarkan metodologi, dan berpegang pada argumentasi yang dapat diuji.
Dalam dunia akademik, titel hanyalah pintu masuk, bukan penentu legitimasi. Ilmu lah yang menentukan nilai seseorang. Tanpa kapasitas intelektual, gelar hanyalah aksesori sosial yang kehilangan maknanya.
Mengembalikan martabat keilmuan berarti meletakkan titel pada tempatnya: sebagai hasil proses akademik yang ketat, bukan sebagai alat untuk meminjam hormat publik. Pada akhirnya, ukuran seorang akademisi bukanlah panjangnya gelar, tetapi sejauh mana pikirannya mampu memberi manfaat dan mencerahkan masyarakat.
( red )












