Oleh: Cecep Anang Hardian
Dalam beberapa tahun terakhir, Tangerang Selatan seakan terperangkap dalam lingkaran persoalan lingkungan yang tak kunjung ditegakkan secara serius. Bukan karena kurangnya anggaran, bukan pula karena minimnya regulasi. Justru, masalah terbesarnya berada pada titik paling krusial: pengawasan, integritas, dan pelaksanaan tugas di lapangan.
Mari kita bicara apa adanya. Berbagai temuan publik menunjukkan indikasi kuat bahwa tata kelola lingkungan di Tangsel berjalan pincang dan jauh dari harapan. Ada data tonase sampah yang tidak sinkron dengan kapasitas armada, seolah angka-angka bisa disulap sesuai kebutuhan laporan. Bila selisih ini benar terjadi, maka problemnya bukan lagi teknis tetapi indikasi pemangkasan integritas.
Belum lagi proyek TPS3R yang dibangun dengan dana besar tetapi mandek, bahkan terbengkalai. Di atas kertas, proyek itu tampak megah; namun di lapangan, yang terlihat hanyalah bangunan setengah berfungsi dan alat-alat yang menganggur. Inilah yang disebut proyek “jadi, tapi tidak berguna”.
Sementara itu, pengadaan bak sampah dan kontainer yang cepat rusak menimbulkan tanda tanya besar: apakah spesifikasi sesuai dengan kontrak? Atau masyarakat hanya mendapatkan versi “tipis-tipis” sementara anggaran digelontorkan untuk versi premium?
Lalu aspek pengawasansebuah titik paling vital. Berulang kali masyarakat melaporkan pencemaran sungai dari limbah industri maupun limbah rumah tangga. Namun, langkah tegas dari DLH seperti menguap di udara. Padahal, tanpa pengawasan, industri nakal akan terus bebas merusak ekosistem wilayah.
Masalah lain yang tidak kalah serius adalah pengelolaan limbah medis dari klinik dan fasilitas kesehatan yang minim inspeksi teknis. Ini bukan soal administrasi; ini menyangkut keselamatan publik. Sampah infeksius bukan benda yang bisa diabaikan.
Belum selesai, ada pula dugaan permainan retribusi sampah yang memberatkan warga tetapi tidak jelas alur setoran ke PAD. Jika benar ada kebocoran, maka ini bukan sekadar persoalan sampah tetapi persoalan moral aparatur;
Itu belum termasuk armada sampah baru yang nganggur, operasional TPA Cipeucang yang tidak transparan, sampai sosialisasi lingkungan yang terkesan hanya laporan di kertas, bukan kegiatan nyata.
Dengan seluruh rangkaian masalah ini, wajar jika masyarakat bertanya :“Di mana keseriusan Pemkot Tangsel dalam menata lingkungan?”
“Apakah DLH benar-benar menjalankan mandat publiknya?”
Tangsel membutuhkan lebih dari sekedar anggaran: butuh integritas, keberanian menindak, dan komitmen memastikan lingkungan menjadi prioritas, bukan komoditas.
( red )












