Oleh: Cecep Anang Hardian
Negara ini tidak kekurangan regulasi, tidak pula miskin anggaran. Yang justru melimpah adalah persekongkolan. Di balik jargon pembangunan dan investasi, ada satu pola lama yang terus berulang penguasa mengatur, pengusaha menikmati, pengupaya mengamankan. Inilah trilogi kekuasaan yang secara sistematis menyandera kepentingan publik.
Penguasa Dari Mandataris Rakyat Menjadi Pengendali Transaksi
Penguasa seharusnya berdiri di atas kepentingan rakyat. Namun dalam praktik, sebagian penguasa lebih berperan sebagai direktur proyek bayangan. Kewenangan dijadikan komoditas, kebijakan dijual dalam paket kepentingan.
Anggaran publik tak lagi disusun berdasarkan kebutuhan, tetapi berdasarkan siapa yang sudah antri di belakang meja kekuasaan. Regulasi bukan instrumen keadilan, melainkan alat seleksi: siapa yang patuh pada sistem gelap, dia yang diloloskan.
Ini bukan lagi penyimpangan individual, melainkan pola kekuasaan.
Pengusaha Bukan Lagi Pelaku Usaha, Melainkan Investor Kekuasaan
Pengusaha dalam sistem ini bukan bertarung di pasar bebas, melainkan di ruang lobi. Mereka tidak berkompetisi soal kualitas, tapi soal kedekatan. Tender hanyalah formalitas, lelang hanyalah kosmetik hukum.
Mereka menanam modal bukan pada inovasi, melainkan pada akses. Bagi pengusaha seperti ini, biaya suap dianggap sebagai ongkos produksi, dan proyek negara diperlakukan sebagai ladang panen pribadi.
Ketika pengusaha sudah lebih sibuk membangun relasi politik ketimbang membangun kualitas, maka kehancuran hanya soal waktu.
Pengupaya Aktor Gelap yang Mengatur Alur Uang dan Kuasa
Jika penguasa adalah pintu, dan pengusaha adalah tamu, maka pengupaya adalah kunci. Mereka tidak tercatat di struktur resmi, tapi tahu persis pintu mana yang harus diketuk dan harga apa yang harus dibayar.
Pengupaya inilah yang Mengatur komunikasi “aman”,Menjembatani kepentingan ilegal,Menjadi penyangga ketika skandal meledak.
Mereka bekerja rapi, senyap, dan nyaris tak tersentuh hukum. Tanpa pengupaya, kejahatan ini tidak akan seefisien dan seterstruktur sekarang.
Kebijakan Publik yang Disandera Kepentingan
Akibat dari kolusi tiga serangkai ini sangat nyataProyek mahal, hasil murahan,Infrastruktur cepat rusak,Anggaran bocor, rakyat disuruh sabar,Kritik dibungkam atas nama stabilitas,
Pembangunan akhirnya hanya menjadi panggung sandiwara, di mana rakyat berperan sebagai penonton yang membayar tiket paling mahal.
Hukum yang Tumpul ke Atas, Tajam ke Bawah
Ironisnya, sistem hukum sering kali justru menjadi tameng. Penegakan hukum bergerak lambat ketika menyentuh lingkaran kekuasaan, namun bergerak cepat saat berhadapan dengan rakyat kecil, aktivis, atau jurnalis yang berani bersuara.
Di sinilah negara berubah dari pelindung menjadi pelindung kepentingan segelintir elite.
Pers dan Masyarakat Sipil Musuh Bersama Sistem Gelap
Setiap suara kritis dianggap ancaman. Setiap laporan investigatif dicap mengganggu investasi. Setiap pengaduan publik dituduh politis. Ini strategi lama bunuh alarmnya, bukan apinya.
Padahal, tanpa pers dan masyarakat sipil yang kuat, negara hanya akan dikuasai oleh segelintir orang yang merasa kebal hukum.
Penguasa yang bersekongkol dengan pengusaha dan pengupaya bukan hanya melanggar etika, tapi mengkhianati mandat rakyat. Jika praktik ini terus dibiarkan, maka yang runtuh bukan sekadar proyek, melainkan kepercayaan terhadap negara itu sendiri.
Ketika negara gagal membersihkan dirinya, maka kritik bukan pilihan melainkan kewajiban moral.
( red )












