Beranda / Opini / Gunung Padang dan Ketakutan Mengakui Sejarah yang Tidak Nyaman

Gunung Padang dan Ketakutan Mengakui Sejarah yang Tidak Nyaman

KamarBerita.id

Oleh: Cecep Anang Hardian

Gunung Padang kembali memantik perdebatan publik. Namun yang dipersoalkan sesungguhnya bukan sekadar usia situs megalitikum di Cianjur itu, melainkan ketidaksiapan sebagian kalangan akademik dan pembuat kebijakan untuk menerima kemungkinan sejarah yang berbeda dari narasi lama.

Setiap kali Gunung Padang dibahas, respons yang muncul nyaris seragam peringatan agar publik tidak “terjebak klaim berlebihan”. Sikap ini sepintas tampak bijak, tetapi jika dicermati lebih dalam, justru mencerminkan penolakan prematur terhadap kemungkinan ilmiah. Dalam tradisi sains, klaim memang harus diuji, namun menutup ruang eksplorasi sejak awal bukanlah kehati-hatian, melainkan bentuk konservatisme pengetahuan.

Gunung Padang mengguncang asumsi lama bahwa peradaban kompleks hanya lahir di Timur Tengah dan Eropa. Ketika kemungkinan sejarah tua itu muncul dari Asia Tenggara, terutama Indonesia, resistensinya terasa lebih keras. Hal ini mengindikasikan bahwa historiografi global masih sarat hierarki, menempatkan Nusantara sebagai wilayah pinggiran, bukan pusat pembentuk peradaban.

Pendekatan geologi dan geofisika yang mengindikasikan adanya struktur berlapis di bawah permukaan Gunung Padang seharusnya menjadi pintu dialog lintas disiplin. Sayangnya, temuan tersebut kerap ditanggapi dengan penolakan sepihak. Arkeologi diposisikan seolah satu-satunya otoritas kebenaran, sementara disiplin lain dianggap ancaman. Padahal, sejarah manusia tidak pernah bisa dibaca dari satu kacamata keilmuan.

Di sisi lain, Gunung Padang juga terjebak dalam nasionalisme tergesa-gesa. Klaim “peradaban tertua di dunia” kerap digaungkan sebelum riset benar-benar tuntas. Ini sama berbahayanya. Ilmu pengetahuan tidak boleh dijadikan alat kebanggaan instan, tetapi juga tidak boleh disandera oleh ketakutan kehilangan legitimasi akademik.

Yang paling ironis, pengetahuan lokal masyarakat sekitar Gunung Padang hampir selalu diabaikan. Bagi warga setempat, situs ini bukan sekadar tumpukan batu, melainkan ruang sakral yang hidup dalam praktik budaya. Mengabaikan konteks ini berarti memotong makna sosial situs itu sendiri sebuah bentuk kolonialisme epistemik yang masih bertahan dalam riset modern.

Gunung Padang sejatinya adalah ujian kejujuran intelektual bangsa. Apakah kita benar-benar siap merevisi sejarah jika data baru menuntutnya? Ataukah kita hanya mau menerima temuan selama tidak mengganggu kenyamanan teori lama?

Gunung Padang tidak menuntut untuk langsung dipercaya. Tetapi ia juga tidak pantas dikubur oleh skeptisisme malas. Yang dibutuhkan adalah riset terbuka, lintas disiplin, dan keberanian akademik untuk mengakui bahwa sejarah manusia masih menyimpan banyak ruang gelap.

Menutup kemungkinan sebelum penelitian selesai bukan kehati-hatian.Itu adalah ketakutan yang dibungkus bahasa ilmiah.

( red )

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *