Beranda / Opini / Ketika Ego Menguasai Politik, Rakyat Menanggung Lukanya

Ketika Ego Menguasai Politik, Rakyat Menanggung Lukanya

Oleh: Cecep Anang Hardian

Dengan kondisi politik saat ini, publik semakin disuguhi pertarungan ego yang kian terbuka dan nyaris tanpa etika. Politik yang seharusnya menjadi ruang pengabdian dan penyelesaian masalah justru bergeser menjadi ajang pelampiasan dendam, ambisi pribadi, dan perebutan pengaruh. Dalam situasi seperti ini, rakyat bukan hanya kehilangan harapan, tetapi juga dipaksa menanggung luka sosial yang terus diperbarui.

Demokrasi Indonesia sesungguhnya tidak kekurangan aktor politik, tetapi kekurangan kedewasaan. Perbedaan pandangan yang seharusnya dikelola sebagai kekuatan demokrasi justru dipelihara sebagai konflik. Kritik dianggap ancaman, lawan diposisikan sebagai musuh, dan kekuasaan dijalankan dengan logika menang kalah, bukan benar salah. Politik pun kehilangan fungsinya sebagai alat melayani kepentingan publik.

Masalah utama politik kita hari ini bukan semata korupsi atau transaksi kekuasaan, melainkan krisis etika. Banyak elite tampil agresif di ruang publik, namun minim kebijaksanaan. Retorika diperbesar, substansi diperkecil. Citra dipoles, tanggung jawab dihindari. Akibatnya, demokrasi direduksi menjadi prosedur formal yang hampa nilai.

Sejarah telah lama memberikan peringatan. Plato menegaskan bahwa negara akan rusak ketika kekuasaan dipegang oleh mereka yang mencintai jabatan lebih daripada kebenaran. Peringatan ini terasa semakin relevan ketika politik lebih sibuk mengelola persepsi daripada menyelesaikan persoalan nyata rakyat.

Indonesia sejatinya memiliki fondasi etik yang kuat melalui Pancasila. Sila keempat menegaskan hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan. Ini bukan sekadar mekanisme teknis, melainkan tuntutan moral kemampuan menahan diri, kesediaan mendengar, dan keberanian mengalah demi kepentingan bersama. Ketika nilai ini diabaikan, demokrasi kehilangan ruhnya dan berubah menjadi arena saling meniadakan.

Dalam perspektif Islam, persoalan ini jauh lebih serius. Kekuasaan adalah amanah, bukan trofi politik. Rasulullah SAW mengingatkan bahwa jabatan adalah tanggung jawab yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Umar bin Khattab r.a. memberi teladan kepemimpinan yang tidak dikendalikan dendam, tetapi dijalankan dengan keadilan bahkan terhadap mereka yang memusuhinya. Standar moral semacam ini semakin jarang ditemukan dalam praktik politik kontemporer.

Politik tanpa kedewasaan melahirkan polarisasi yang disengaja dan kelelahan sosial. Masyarakat dipaksa memilih kubu, bukan solusi. Energi bangsa habis untuk perang narasi, sementara persoalan mendasar seperti ketimpangan ekonomi, pelayanan publik yang buruk, dan ketidakadilan hukum tak kunjung diselesaikan.

Lebih berbahaya lagi, ego yang menguasai kekuasaan melahirkan pemimpin yang alergi terhadap kritik. Setiap koreksi dipersepsikan sebagai upaya menjatuhkan. Dalam kondisi seperti ini, kekuasaan bergerak menuju otoritarianisme yang dibungkus prosedur demokrasi demokrasi tetap berjalan, tetapi substansinya mati.

Kepemimpinan sejati tidak diukur dari kerasnya serangan kepada lawan, melainkan dari kemampuan menaklukkan diri sendiri. Pemimpin yang dewasa tidak sibuk mencari musuh, tetapi fokus mencari solusi. Ia berani duduk bersama pihak yang berbeda, mengakui kesalahan, dan menempatkan kepentingan publik di atas ambisi pribadi.

Jika ego terus menguasai politik, maka rakyat akan terus menanggung lukanya. Bangsa ini tidak kekurangan orang pintar dan vokal, tetapi sangat kekurangan pemimpin yang matang secara moral. Tanpa kedewasaan, politik hanya akan melahirkan kegaduhan bukan kemajuan.

 

( red )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *