Home / Nasional / Ketika Wakil Presiden Numpang Nampang di Jumbo

Ketika Wakil Presiden Numpang Nampang di Jumbo

Barangkali kita sedang hidup di zaman di mana pejabat tak lagi perlu berkeringat, cukup bermonolog di depan kamera, tersenyum rapi, dan berharap netizen akan terharu. Sayangnya, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka baru saja membuktikan bahwa harapan itu terlalu tinggi—bahkan lebih tinggi dari jumlah dislike yang diterimanya.

Sebuah video berdurasi enam menit lebih sedikit diunggah di kanal YouTube Sekretariat Wapres. Di dalamnya, Gibran membicarakan soal Jumbo, film animasi lokal yang sukses dan membanggakan. Ia menyebut soal bonus demografi, potensi anak muda, dan pentingnya kolaborasi. Semua terdengar mulia, jika saja bukan karena satu hal: ia terdengar seperti tamu tak diundang yang ikut memotong kue perayaan orang lain.

Numpang Bangga, Tapi Ketinggalan Proses

Mari kita jujur. Tidak ada yang keberatan jika seorang wakil presiden memberi dukungan terhadap karya lokal. Tapi, kalau selama ini diam saja, lalu tiba-tiba muncul di momen kemenangan, bukankah itu seperti teman yang tidak ikut kerja kelompok tapi datang saat presentasi sambil pakai jas?

Film Jumbo dibikin oleh animator lokal, dikerjakan tanpa AI, dibiayai bukan oleh negara, dan disebarkan tanpa subsidi. Tapi tiba-tiba Wakil Presiden muncul, membawa narasi besar tentang generasi muda dan transformasi digital. Sebuah momen yang seharusnya menyentuh, tapi malah terasa seperti endorse yang kurang brief.

Dislike Adalah Bahasa Rakyat

Video itu, alih-alih memancing tepuk tangan, malah panen dislike. Lebih dari 26 ribu orang mengklik jempol ke bawah. Ini bukan soal benci pribadi. Ini tentang rasa muak pada pencitraan instan. Rakyat sudah lelah dengan politik yang hanya muncul saat kamera menyala, bukan saat kerja nyata dibutuhkan.

Netizen pun tak tinggal diam. Kolom komentar berubah jadi taman sarkasme. “90% komentarnya negatif. Rakyat pintar,” tulis seseorang. “Mending Jumbo yang jadi Wapres,” celetuk yang lain. Dan entah kenapa, komentar itu terasa masuk akal.

Monolog yang Menyuarakan Kekosongan

Monolog biasanya digunakan untuk menunjukkan kedalaman batin. Tapi dalam kasus ini, monolog Gibran justru memperdalam jarak. Ia berbicara, tapi seperti tidak mengatakan apa-apa. Ia tersenyum, tapi seperti sedang memaksakan senyum di tengah sunyi yang memekakkan.

Lucunya, ini bukan pertama kalinya pejabat kita mencoba “dekat” dengan rakyat lewat internet. Tapi setidaknya, kalau mau dekat, pastikan dulu rakyatnya belum kapok. Ini seperti mantan yang tiba-tiba kirim chat “kangen”, padahal dulu ghosting tanpa pamit.

Pemimpin Atau Figuran?

Dalam film, ada peran utama, peran pembantu, dan figuran. Tapi dalam video ini, Gibran tampak seperti figuran yang nekat naik ke panggung dan mengaku sebagai produser. Rakyat, tentu saja, tak bisa ditipu selamanya. Apalagi oleh narasi yang lebih terlihat seperti script mendadak ketik daripada suara hati.

Jadi, apa yang bisa kita petik? Mungkin sederhana: rakyat Indonesia makin cerdas. Mereka tahu siapa yang benar-benar hadir, dan siapa yang cuma hadir saat sorotan datang. Dan dalam dunia digital hari ini, like dan dislike bukan sekadar tombol, tapi pernyataan sikap politik.

Jika monolog itu dimaksudkan untuk mendekatkan diri, sayangnya justru menjauhkan. Dan kini, satu-satunya yang jumbo bukanlah prestasi politiknya, tapi jumlah dislike-nya.

Selamat datang di era baru demokrasi digital. Di mana rakyat tidak hanya memilih lewat bilik suara, tapi juga lewat kolom komentar.

( Red )

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *