Home / Nasional / Kapitalisme, Militerisme, dan Krisis Rakyat: Tiga Pilar Kehancuran yang Harus Dilawan

Kapitalisme, Militerisme, dan Krisis Rakyat: Tiga Pilar Kehancuran yang Harus Dilawan

Tangerang selatan. 30/04/2025

Tiga tahun terakhir, buruh dan rakyat kecil Indonesia menghadapi gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang kian membesar. Di balik angka-angka statistik itu, tersembunyi arah politik ekonomi neoliberal yang semakin menggerus kehidupan masyarakat miskin, terutama di pedesaan. Krisis hari ini bukan sekadar tentang harga beras yang melambung atau sulitnya mencari kerja. Ini adalah krisis multidimensi: dari pangan, energi, iklim, hingga ketidakadilan gender yang semakin nyata dalam beban perawatan (care work) yang dipikul perempuan.

Sementara itu, ruang demokrasi yang seharusnya menjadi jalan keluar justru semakin disumbat. Solusi-solusi ilmiah dan berbasis kebutuhan rakyat diabaikan, digantikan oleh kebijakan-kebijakan elit yang hanya memperdalam ketimpangan. Di tengah ketidakpastian ini, militerisme perlahan mengambil alih kehidupan sipil: dari kementerian-kementerian hingga unit-unit kecil Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Badan pangan nasional seperti Bulog kini didominasi oleh tentara, dan program pangan seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) pun dikuasai oleh unsur militer.

Militerisasi ini bahkan menyentuh kampus-kampus, pabrik, hingga hutan-hutan adat. Pendirian 100 Batalyon Pembangunan dan 22 Kodam baru menunjukkan arah politik yang semakin represif: mempersiapkan tentara untuk menghadapi “musuh dari dalam”—rakyatnya sendiri. Dalam skema ini, konsolidasi rakyat, perjuangan buruh, dan gerakan mahasiswa dianggap ancaman yang harus dikendalikan.

Krisis ini bukan terjadi dalam ruang hampa. Sejak kejatuhan Soeharto pada 1998, Indonesia mengalami liberalisasi ekonomi-politik yang melonggarkan ruang bagi neoliberalisme dan kekuatan modal. Namun, liberalisasi itu juga membuka jalan baru bagi militerisme. Dari era Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, hingga Joko Widodo, skema-skema pembangunan besar seperti MP3EI hingga Proyek Strategis Nasional (PSN) berujung pada eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam dan penggusuran masyarakat adat.

Konsolidasi kekuatan modal dan militer ini semakin nyata dalam rezim Prabowo-Gibran. Di tengah ancaman krisis iklim global, food estate yang membuka 3,69 juta hektar hutan justru mempercepat kehancuran lingkungan dan memperdalam ketimpangan sosial. Legitimasi terhadap pengrusakan hutan dan peminggiran rakyat semakin terbuka.

Peringatan Hari Buruh Sedunia, Hari Pendidikan Nasional, dan mengenang Marsinah serta Tragedi Mei 1998 menjadi momentum penting untuk mengingatkan kita: perjuangan belum selesai. Tragedi demi tragedi dalam sejarah Indonesia adalah simbol perlawanan terhadap kapitalisme, oligarki, dan militerisme.

Kini, sejarah memanggil kita sekali lagi. Untuk membangun persatuan dan perlawanan nasional. Untuk menegaskan bahwa demokrasi sejati hanya mungkin lahir dari keberanian buruh, petani, mahasiswa, dan rakyat kecil yang bersatu melawan sistem yang menindas. Bahwa perubahan sejati tidak akan lahir dari elite-elite politik yang terus mengulang kesalahan masa lalu, melainkan dari kekuatan rakyat yang terus belajar, berorganisasi, dan bergerak.

( red )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *