Home / Pemerintah / Demi Pajak, Warga Jadi Tumbal? Kebijakan Luhut Soal Paspor Tuai Kontroversi

Demi Pajak, Warga Jadi Tumbal? Kebijakan Luhut Soal Paspor Tuai Kontroversi

Jakarta – di tengah upaya pemerintah mempercepat digitalisasi perpajakan, pernyataan Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan, justru memicu kegelisahan publik. Luhut dengan tegas menyatakan bahwa warga negara yang tidak taat membayar pajak akan dipersulit mengakses layanan administrasi, mulai dari pembuatan paspor hingga perpanjangan izin usaha.

“Kamu ngurus paspormu, tidak bisa karena kamu belum bayar pajak. Kamu enggak bisa nanti kalau lebih jauh lagi, kamu memperbarui izinmu enggak karena kamu belum bayar (pajak), ujar Luhut dalam konferensi pers di Jakarta.

Pajak vs Hak Warga Negara

Kebijakan ini langsung menimbulkan pertanyaan besar: apakah negara berhak memutus akses layanan publik hanya karena pajak?

Sejumlah pengamat menilai, pajak memang kewajiban konstitusional setiap warga negara. Namun, **hak atas dokumen dan layanan administrasi publik juga dijamin UUD 1945**. Dengan demikian, mengaitkan keduanya tanpa dasar hukum yang jelas justru berpotensi melanggar prinsip keadilan.

“Pajak itu kewajiban, tetapi paspor adalah hak. Kalau negara menukar kewajiban dengan hak, ini bisa jadi bentuk pemerasan administrasi,” kritik seorang akademisi hukum tata negara.

Coretax: Sistem atau Alat Kontrol?

Pemerintah berdalih, langkah ini bagian dari digitalisasi melalui **sistem inti administrasi perpajakan (coretax)**. Dengan sistem ini, semua data warga akan terhubung: dari pembayaran pajak hingga kebutuhan layanan publik.

Namun, para pakar kebijakan publik mengingatkan bahwa digitalisasi tanpa regulasi ketat bisa berubah menjadi alat kontrol sosial Alih-alih meningkatkan kepatuhan pajak, kebijakan ini justru berisiko mematikan akses layanan dasar bagi kelompok masyarakat rentan.

Siapa yang Paling Terdampak?

Bagi masyarakat kelas menengah atas yang terbiasa mengurus pajak, kebijakan ini mungkin tak berarti banyak. Namun, bagi pekerja informal, pedagang kecil, atau buruh migran yang kerap tidak terdaftar dalam sistem pajak resmi, kebijakan ini bisa menjadi mimpi buruk.

Bayangkan seorang TKI yang hendak memperpanjang paspor untuk bekerja ke luar negeri, tetapi tertahan karena masalah administrasi pajak yang bahkan mungkin tidak pernah ia pahami.

Kritik yang Menguat

Sejumlah aktivis hak asasi menilai wacana ini **tidak proporsional**. Negara, kata mereka, seharusnya memperkuat edukasi pajak dan menciptakan sistem perpajakan yang adil, bukan menghalangi warganya mengakses hak-hak dasar.

“Kalau tujuan negara hanya menaikkan pendapatan pajak dengan cara menekan warganya, maka fungsi pelayanan publik berubah menjadi alat pemaksaan. Ini bukan reformasi pajak, ini represif,” ujar seorang aktivis kebijakan publik.

Menunggu Kepastian Hukum

Hingga kini, pemerintah belum menjelaskan **mekanisme hukum maupun payung regulasi** yang akan digunakan untuk menjalankan kebijakan ini. Apakah akan ada aturan baru? Bagaimana pengawasannya? Dan siapa yang akan memastikan hak-hak warga tidak terlanggar?

Satu hal yang jelas: pernyataan Luhut membuka bab baru dalam perdebatan soal pajak dan hak konstitusional warga. Pertanyaan yang tersisa—apakah demi mengejar pajak, negara rela mengorbankan hak dasar rakyatnya?

( rna)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *