Suara rakyat dipersempit, penguasa semakin nyaman dengan kepentingan sendiri
Pernyataan Mohammad Hatta, Demokrasi mati ketika rakyat tidak lagi memiliki hak untuk berbicara, sementara penguasa hanya mementingkan diri sendiri,”* seakan menjadi cermin yang menohok wajah demokrasi kita hari ini. Demokrasi yang seharusnya menjadi ruang partisipasi rakyat, perlahan kehilangan ruhnya dan berubah menjadi panggung kepentingan elite.
Fakta di lapangan menunjukkan betapa kebebasan berbicara semakin dipersempit. Kritik publik sering dianggap ancaman, suara masyarakat dipinggirkan, dan kebijakan justru lebih banyak berpihak pada kelompok tertentu. Demokrasi kemudian hanya sebatas prosedur pemilu, sementara substansinya—keadilan, partisipasi, dan kontrol terhadap kekuasaan—diabaikan.
Sebagai masyarakat, **Cecep Anang Hardian** menilai bahwa penguasa yang abai terhadap aspirasi rakyat sejatinya sedang berjalan dalam kegelapan. Mereka sibuk dengan ambisi dan kepentingan pribadi, sementara suara publik dianggap riuh yang harus dibungkam. Padahal, kekuasaan sejati bukanlah untuk memperkaya diri, melainkan amanah untuk mengabdi.
Kondisi ini membuat demokrasi rapuh, ibarat jembatan yang retak karena tiang penyangganya dicabut satu per satu. Jika suara rakyat terus diabaikan, maka demokrasi akan runtuh dan yang tersisa hanyalah wajah baru otoritarianisme—berbungkus aturan, tetapi mengekang kebebasan.
Menurut Cecep, pesan Hatta adalah peringatan lintas zaman: demokrasi hanya hidup jika rakyat berani mempertahankan hak bersuara, dan penguasa rela menundukkan egonya demi kepentingan bersama. Pertanyaan yang harus kita ajukan hari ini: apakah demokrasi di negeri ini benar-benar masih hidup, atau hanya tinggal nama?
( red )