Beranda / Opini / APBD MENJULANG, MUTU TERJUN BEBAS RAKYAT LEGAWA ATAU SEDANG DIUJI KESABARANNYA?

APBD MENJULANG, MUTU TERJUN BEBAS RAKYAT LEGAWA ATAU SEDANG DIUJI KESABARANNYA?

Oleh:cecep anang hardian

APBD di banyak daerah hari ini tampak seperti raksasa yang kuat di atas kertas, tetapi ompong di lapangan. Anggaran yang melonjak drastis setiap tahun seakan hanya memperindah dokumen resmi, bukan kualitas pembangunan. Yang muncul justru ironi: anggaran super, hasil super buruk.

Jalan baru dibangun sudah retak. Drainase ambruk sebelum musim hujan berakhir. Pengadaan barang penuh tanda tanya. Proyek rutin mirip formalitas, bukan pelayanan publik. Lalu publik dipaksa menerima penjelasan klasik: “ini sudah sesuai prosedur.”

Jika kualitas seperti itu disebut sesuai prosedur, berarti persoalannya bukan pada proyeknya — tetapi pada prosedurnya yang sakit.

Di balik meja-meja perencanaan, sering terlihat pola lama yang tak kunjung mati:

perencanaan copy-paste,studi teknis sekadar syarat,spek disesuaikan dengan kepentingan tertentu,

pengawasan formal tapi tidak substansial, pekerjaan fisik bergantung pada kejar tayang pencairan.

Semua ini bukan isu baru, melainkan pola sistemik yang sudah lama diamati publik. Inilah yang membuat banyak orang bertanya: apakah fungsi utama APBD masih untuk kepentingan rakyat, atau sekadar siklus belanja yang harus dihabiskan?

Lebih ekstremnya lagi, di banyak kasus, kualitas proyek justru lebih buruk dari standar paling dasar. Material diduga tidak sesuai spek, pengerjaan kasar, dan umur pakai sangat pendek. Ini membuat proyek seperti dirancang untuk kembali rusak, kembali dianggarkan, dan kembali dikerjakan siklus yang “menguntungkan”, tetapi jelas merugikan masyarakat.

Masalah pengawasan pun sama peliknya. Badan pengawas internal seakan hanya menjadi penonton. Temuan justru datang dari warga biasa, media, dan pegiat sosial. Ketika rakyat menjadi pengawas utama, itu tanda bahwa sistem resmi sedang tidak bekerja.

Yang paling berbahaya dari situasi ini adalah normalisasi kerusakan. Rusak dianggap lumrah. Proyek rapuh dianggap biasa. Pekerjaan tidak sesuai spek dianggap risiko. Seolah-olah publik harus terus mengulang kalimat yang melelahkan: “yang penting dibangun.”

Padahal rakyat punya hak lebih dari sekadar “dibangun”.

Rakyat berhak atas pembangunan yang jujur, bermutu, tahan lama, dan bermanfaat.

APBD bukan hadiah pemerintah kepada rakyat. APBD adalah uang rakyat yang dikelola pemerintah. Maka pertanyaan ekstrem yang sah untuk diajukan adalah:

Mengapa uang rakyat menghasilkan kualitas yang tidak layak bagi rakyat?

Jawabannya hanya dua:

1. Ada yang salah dengan tata kelola, atau

2. Ada pembiaran terhadap kualitas rendah.Keduanya sama-sama berbahaya.

Sudah waktunya pemerintah daerah melakukan reformasi nyata, bukan kosmetik. Mulai dari perencanaan yang rasional, pengawasan yang tegas, audit berbasis manfaat, sampai transparansi total. Rakyat tidak lagi menerima alasan klise.Bangunan rapuh berarti proses rapuh.

Jika kondisi ini tidak berubah, maka APBD hanya menjadi mesin penghabisan anggaran, bukan mesin pembangunan. Uang rakyat layak menghasilkan pekerjaan berkualitas tinggi — bukan proyek yang membuat publik mengelus dada setiap tahun.

Karena pada akhirnya, kritik paling ekstrem hanya membawa satu pesan sederhana:

Jika uang rakyat dihormati, maka hasil pembangunan pasti memuliakan rakyat.

Jika hasilnya memalukan, yang perlu diperbaiki jelas bukan rakyatnya.

( red )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *