Oleh : Cecep Anang Hardian
Barak militer bukan tempat rehabilitasi untuk pegawai negeri yang malas dan kehilangan arah. Ia bukan panti cuci piring kotor akibat sistem sipil yang enggan membenahi diri. Barak adalah tempat para profesional bersumpah setia pada republik, bukan tempat penitipan pegawai yang bosan ikut rapat dan tidak tahu cara menyalakan komputer.
Usulan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, agar ASN yang malas dikirim ke barak militer, terdengar seperti guyonan, tapi justru menyentuh persoalan yang lebih dalam: krisis tanggung jawab di tubuh negara.
Dalam negara yang terus berlari tanpa arah, sipil dan militer kini berdiri di simpang jalan, saling tunjuk, saling lempar beban, seolah dua saudara yang sama-sama lupa bahwa rumah yang terbakar tak akan padam hanya dengan menyalahkan satu sama lain.
Apa yang membuat seseorang malas di lingkungan birokrasi? Apakah karena mereka kurang tidur? Atau karena setiap inovasi dibentur prosedur? Mungkin bukan malas, tapi lelah. Lelah menghadapi sistem yang tidak memberi ruang untuk berkembang. Lelah karena atasan sibuk mempertahankan jabatan, bukan memperjuangkan keadilan.
Mengapa disiplin selalu harus dicari di luar diri? Mengapa selalu berharap militer datang sebagai penyelamat—seperti superhero dengan seragam loreng dan sepatu bot?
Sebab yang sipil gagal membentuk sistem yang hidup. Sistem yang memberi ruang pada kritik, penghargaan atas kerja nyata, dan sanksi yang adil tanpa pandang bulu. Ketika sistem tidak adil, motivasi pun runtuh. Dan di situlah asal-muasal “kemalasan” muncul. Ia bukan virus yang menular dari kafe ke kantor, tapi luka yang muncul dari ketidakpercayaan terhadap perubahan.
Tapi bagaimana dengan militer?
Apakah mereka siap menampung limpahan pegawai negeri yang kehilangan arah?
Apakah tentara, yang seharusnya fokus menjaga pertahanan negara, kini harus jadi guru karakter bagi para birokrat lesu?
Jenderal TNI seharusnya berdiri dan berkata:
“Barak militer bukan tempat penitipan karakter. Kami latihan D-Day, bukan Day-Care. Kami ditempa untuk perang, bukan untuk jadi guru BP bagi ASN malas. Institusi sipil harus belajar membenahi diri sendiri, bukan menitipkan kegagalannya kepada kami.”
Dan betapa ironis, bahwa militer pun tidak sepenuhnya bersih dari perkara ini. Ketika mereka mulai terlibat dalam “Operasi Militer Selain Perang”, menempati jabatan sipil, duduk di kursi-kursi empuk kementerian, bahkan jadi direktur BUMN—apakah itu bukan bentuk lain dari buang badan?
Ketika sistem kepangkatan di tubuh militer sendiri kerap tak berjalan berdasarkan merit, ketika profesionalisme dikorbankan demi kedekatan politik, lalu bagaimana bisa militer mengklaim sebagai sumber kedisiplinan absolut?
Sipil dan militer, dua sayap dari satu burung bernama republik, justru saling menindih. Yang satu terbang rendah karena korup birokrasi, yang satu ingin terbang tinggi tapi kehilangan arah karena rangkap jabatan.
Ini bukan soal menolak militer.
Bukan pula soal memuja sipil.
Ini soal masing-masing institusi berani bercermin.
Sipil harus berani menciptakan sistem kerja yang transparan, yang menilai prestasi bukan asal suka. Yang mendidik bukan menghardik. Yang membina bukan menghina. Dan yang mengakui bahwa reformasi birokrasi tak bisa dilakukan dengan cara militerisasi mental.
Sementara militer pun harus berani kembali ke baraknya. Menjaga wibawa dengan tidak ikut campur dalam segala lini. Menolak ketika diminta jadi pemadam kebakaran atas kegagalan sipil. Dan menjaga kehormatan dengan tak ikut rebutan jabatan.
Negara bukan pabrik seragam. Bukan pula panggung drama di mana peran bisa ditukar seenaknya.
PNS malas tidak akan otomatis menjadi rajin hanya karena dibentak-bentak. Sebaliknya, tentara tidak akan menjadi lebih terhormat jika terus dipakai sebagai alat tempel kedisiplinan di tempat yang rusak sistemnya.
Reformasi tidak datang dari seragam, tapi dari keberanian menata ulang sistem yang salah.
Dan bangsa ini tidak butuh lagi barak-barak yang berubah fungsi jadi penitipan pegawai. Kita tidak kekurangan bangunan. Kita kekurangan kejujuran.
Maka, biarlah barak tetap barak. Biarlah kantor tetap kantor.
Dan biarlah kita semua belajar mencuci piring kotor kita sendiri di rumah kita masing-masing tanpa harus membawa kotoran itu ke dapur orang lain.
( Red/Edi)