Oleh: Cecep Anang Hardian
Di sudut-sudut negeri yang kaya akan keindahan alam, suara mesin pembangunan terdengar semakin nyaring. Pantai-pantai yang dulu sunyi, sawah-sawah yang menghijau, dan bukit-bukit tempat anak-anak bermain kini perlahan berubah rupa—beralih fungsi menjadi resor mewah, vila eksklusif, atau kawasan ekonomi khusus. Demi kemajuan, katanya. Demi pariwisata dan investasi, katanya.
Namun di balik klaim kemajuan itu, muncul pertanyaan yang getir: kemajuan untuk siapa?*
Mewahnya Bintang Lima, Nestapanya Warga Sekitar.
Pembangunan hotel bintang lima sering kali digembar-gemborkan sebagai simbol keberhasilan daerah menarik investor. Pemerintah daerah menyambutnya dengan karpet merah, para pejabat tersenyum bangga dalam seremoni peletakan batu pertama, dan media menyorotnya sebagai pencapaian. Tetapi bagaimana dengan warga sekitar?
Di banyak tempat, pembangunan besar justru membawa ironi. Warga yang telah tinggal turun-temurun harus tergusur karena lahannya dialihfungsikan. Nelayan tak lagi bisa melaut karena pantai sudah dipagari dan dijadikan “privat”. Petani kehilangan akses ke sumber air bersih karena pembangunan yang merusak tata air. Mereka tak punya kuasa, hanya bisa menyaksikan tanah yang dulu mereka jaga kini berubah menjadi kolam renang dan lapangan golf.
Privatisasi Alam, Hilangnya Akses atas Langit.
“Bintang Langit untuk Siapa?” adalah pertanyaan yang mencerminkan hilangnya akses masyarakat terhadap alam. Dahulu, langit malam bisa dinikmati bersama keluarga di beranda rumah. Kini, cahaya dari lampu-lampu hotel dan vila mewah menutupi kerlip bintang. Pantai tempat anak-anak bermain kini berpagar tinggi. Hutan tempat berburu dan berkebun berubah jadi resor eksklusif.
Alam yang semestinya menjadi milik bersama, kini dikomodifikasi. Udara, tanah, air, bahkan langit malam pun perlahan dimonopoli oleh segelintir pihak bermodal besar.
Kemajuan Seharusnya Inklusif.
Tak ada yang menolak pembangunan. Tetapi pembangunan yang baik adalah pembangunan yang adil—yang melibatkan masyarakat, yang menjaga lingkungan, yang memberi manfaat jangka panjang, bukan hanya untuk investor, tetapi juga untuk warga lokal.
Kemajuan tidak boleh mengorbankan hak hidup masyarakat. Hotel bintang lima tak boleh berdiri di atas luka warga. Jalan tol dan resor mewah tak boleh hadir dengan mengorbankan ruang hidup nelayan, petani, atau masyarakat adat.
Menuju Keadilan Spasial dan Ekologis.
Sudah waktunya kita bertanya lebih kritis: siapa yang diuntungkan dari proyek-proyek pembangunan besar? Sudah saatnya masyarakat dilibatkan dalam pengambilan keputusan, bukan hanya jadi penonton. Sudah waktunya ruang-ruang publik dijaga dan hak atas alam dipulihkan.
Bintang Lima untuk Investor, Bintang Langit untuk Siapa?”
bukan hanya slogan. Ia adalah jeritan dari mereka yang terpinggirkan. Ia adalah panggilan untuk membangun secara lebih adil, lestari, dan manusiawi.
( Red )