Oleh: Cecep Anang Hardian – Warga Tangerang Selatan
Di suatu sudut Tangerang Selatan, malam tidak pernah benar-benar hitam. Ia berpendar samar, seolah menyimpan rahasia yang tidak ingin diucapkan.
Angin berembus pelan, membawa bau besi, bau tinta yang tak pernah kering,dan bau perintah-perintah yang lahir bukan dari akal sehat, melainkan dari kepentingan yang tersembunyi.
Di kota ini, rotasi jabatan bukan peristiwa administratif.Ia adalah ritual gelap.Semacam upacara tanpa doa,yang dilakukan di ruangan yang tirainya ditutup rapat,di mana jam dinding berdetak seperti saksi bisu yang letih.
Para pejabat berjalan seperti bayangan yang kehilangan tubuh.Ada yang naik, ada yang turun,tapi tak seorang pun tahu apakah mereka benar-benar berpindah karena layak,atau hanya karena seseorang di atas sana menggeser bidak
tanpa melihat apakah papan catur ini masih kuat menahan permainan mereka.
Jenjang pendidikan?Kompetensi? Rekam jejak?
Itu semua seperti buku-buku tua yang dibiarkan berdebu di perpustakaan: dihargai hanya sebagai pajangan, tidak pernah dibaca.Yang diperhatikan justru hal yang tak tertulis:kedekatan, kesetiaan, kenyamanan politik.
Kadang, mereka yang patut mendapat cahaya justru disembunyikan,dan mereka yang tidak siap memikul beban justru diberi obor.Dan obor itu, pelan-pelan, membakar rumah mereka sendiri.
Tangerang Selatan kini bagai hutan gelap.Hewan-hewan di dalamnya tidak lagi mengikuti naluri; mereka mengikuti arah senter yang diarahkan tangan-tangan tak terlihat.Keputusan tidak lagi lahir dari ilmu,melainkan dari ketakutan akan kehilangan kursi.
Setiap jabatan yang dirotasi tanpa logika adalah pohon yang ditebang tanpa alasan.Hutan ini mulai botak.Dan tanahnya mulai retak karena akar-akar kompetensi telah dicabut satu per satu.
Di tengah kegelapan itu, suara seorang warga muncul, dengan kebingungan. Suara itu tidak lantang, tetapi tajam dan tenang seperti pisau yang baru diasah.“Jabatan bukan topeng yang bisa dipindah dari satu wajah ke wajah lain. Kota ini bukan panggung sirkus politik. Kami, masyarakat Tangsel, ingin pejabat yang ditempatkan karena mampu, bukan karena dekat.”
Suara itu membuat malam bergetar,walau pelan laksana batu kecil yang dilempar ke danau besar.Riaknya mungkin tak terlihat langsung,tetapi ia menyebar jauh ke dasar.Karena politik punya wataknya sendiri:Ia mencintai bayang-bayang,tetapi juga takut pada cahaya kecil yang jujur.
Dan kata-kata yang diucap seperti cahaya kecil itu.Di lorong kekuasaan yang suram,cahaya kecil selalu tampak mengganggu.Tapi justru cahaya seperti itulah yang mengungkap bentuk asli dari para bayangan.
Sebab pada akhirnya, kota ini akan menagih pertanggungjawaban: Mengapa jabatan-jabatan dipindahkan sembarangan? Mengapa kota dikelola seperti labirin tanpa peta?
Mengapa meritokrasi dikubur dalam peti,sementara kepentingan politik justru berjalan bebas? Sampai hari itu tiba,
Tangsel akan tetap menunggu dalam senyap.Seperti hutan yang tampak sunyi, padahal sedang menghafal nama-nama penebangnya.Dan barangkali, suatu saat nanti,ketika cahaya benar-benar datang,bayang-bayang itu tak bisa lagi bersembunyi.
Karena malam yang paling gelap pun,cepat atau lambat,akan dipaksa tunduk kepada fajar.
( red )












