Jakarta, 3 Agustus 2025– Munculnya bendera bajak laut ala karakter Luffy dari serial *One Piece* di berbagai kendaraan umum, truk logistik, hingga spanduk demonstrasi, menjadi sorotan publik belakangan ini. Bendera berlogo tengkorak tersebut dinilai banyak pihak sebagai bentuk ekspresi perlawanan terhadap situasi politik nasional yang dianggap tidak adil dan sarat nepotisme.
Fenomena ini mulai terlihat sejak menjelang Pemilu 2024, tetapi kian marak pasca pelantikan pasangan Presiden dan Wakil Presiden baru, yang salah satunya merupakan putra Presiden sebelumnya. Bendera bajak laut itu kini dijadikan simbol oleh sebagian masyarakat—terutama generasi muda—untuk menyuarakan kekecewaan terhadap arah demokrasi Indonesia.
“Ini bukan sekadar fandom anime. Ini simbol kritik sosial. Luffy dianggap representasi dari perlawanan terhadap sistem yang korup, mirip dengan yang dirasakan banyak warga soal politik kita hari ini,” ujar Denny (25), seorang pengemudi ojek online di Jakarta Selatan, kepada \[Kamar Berita], Jumat (2/8).
Kritik terhadap Dinasti Politik
Isu soal dinasti politik mencuat tajam sejak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Oktober 2023 yang membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka—anak Presiden Joko Widodo—untuk maju sebagai calon wakil presiden meski belum cukup usia berdasarkan Undang-Undang sebelumnya.
Putusan tersebut menuai kritik luas, terutama setelah diketahui bahwa Ketua MK saat itu, Anwar Usman, merupakan paman dari Gibran. Meski Mahkamah Kehormatan MK menjatuhkan sanksi etik berat kepada Anwar Usman, putusan tersebut tetap berlaku dan Gibran pun dilantik sebagai Wakil Presiden pada 20 Oktober 2024.
Pengamat hukum tata negara dari UGM, Zainal Arifin Mochtar, menyebut fenomena ini sebagai “pengkhianatan terhadap semangat konstitusi”. Ia menyatakan, “Apa pun pembenarannya secara hukum, publik tahu bahwa ini soal kepentingan kekuasaan.”
Media Sosial dan Jalanan: Ruang Baru Ekspresi Kritik
Simbol *Jolly Roger* dari *One Piece* kini banyak ditemukan tidak hanya di media sosial, tetapi juga di jalanan. Di berbagai kota seperti Yogyakarta, Bandung, hingga Makassar, foto-foto bendera ini muncul di kendaraan umum, mural, bahkan stiker helm.
Di kalangan mahasiswa dan aktivis, simbol tersebut mulai digunakan dalam aksi demonstrasi. “Ini bentuk satire. Saat rakyat tak punya saluran aspirasi formal, maka simbol budaya populer jadi medium alternatif,” ujar Niken Maharani, dosen komunikasi politik dari Universitas Airlangga.
Sementara itu, kelompok pro-pemerintah menganggap fenomena ini sebagai hal yang berlebihan. “Mengkritik boleh, tapi jangan terlalu membelokkan makna simbol. Ini bisa disalahartikan dan digeneralisasi,” kata Arya Sinulingga, juru bicara koalisi pemerintahan, dalam pernyataannya.
Demokrasi dan Ketidakpercayaan
Survei LSI Denny JA pada akhir 2024 menunjukkan bahwa 48 persen responden merasa “demokrasi Indonesia berjalan mundur” dalam lima tahun terakhir. Meski pasangan terpilih memenangkan suara mayoritas, ketidakpercayaan publik terhadap integritas proses politik menjadi tantangan besar bagi legitimasi moral pemerintahan.
Di tengah kondisi ini, kemunculan simbol seperti bendera bajak laut menandakan bahwa perlawanan tidak selalu hadir dalam bentuk partai atau organisasi formal. Rakyat, terutama anak muda, kini menggunakan cara mereka sendiri untuk menyuarakan ketidakpuasan.
“Jika negara gagal menjaga kepercayaan publik, maka ekspresi alternatif seperti ini akan terus muncul. Ini tanda alarm, bukan tren biasa,” tutup Niken.
Editor: \[A fitrah ]
Penulis: \[Cecep Anang Hardian]