Oleh: Cecep Anang Hardian
Indonesia sudah menghapus sistem kerajaan sejak merdeka. Demokrasi pun diperkenalkan sebagai sistem pemerintahan yang lebih terbuka, partisipatif, dan egaliter. Namun, dalam praktik sehari-hari, sisa-sisa feodalisme seolah tak benar-benar hilang ia hanya berganti rupa.
Alih-alih mengandalkan garis keturunan atau status bangsawan, kekuasaan hari ini seringkali dijalankan oleh mereka yang terpilih melalui mekanisme demokratis, tetapi tetap bersikap seolah tak bisa disentuh rakyat. Kritik dianggap ancaman, pertanyaan dianggap pembangkangan. Ini bukan demokrasi ini feodalisme gaya baru.
Feodalisme sebagai sistem pemerintahan memang telah lama ditinggalkan. Namun, warisan cara berpikirnya—hierarkis, otoriter, dan eksklusif masih sangat hidup. Ia menjelma dalam bentuk relasi kuasa yang timpang, baik di pemerintahan, institusi pendidikan, hingga birokrasi.
Kritik yang datang dari masyarakat sering kali tidak dijawab dengan argumen substantif, tapi justru dibalas dengan delegitimasi. Bahkan tak jarang dikriminalisasi. Data SAFEnet (2024) menunjukkan bahwa kasus pelaporan terhadap warga yang mengkritik pejabat atau kebijakan publik melalui media sosial meningkat dibanding tahun sebelumnya. Bukannya membuka ruang dialog, negara justru menunjukkan refleks feodal: menolak untuk disanggah.
Kekuasaan yang Ingin Dihormati, Bukan Dievaluasi, Ada semacam obsesi dalam sistem kekuasaan kita,dihormati tanpa harus membuktikan kinerja. Hal ini terlihat dari sikap sebagian pejabat yang ingin diperlakukan secara istimewa, baik dalam tata krama maupun dalam aturan hukum. Kita sering melihat upaya meredam suara-suara minoritas, bahkan oleh mereka yang dipilih melalui mekanisme demokratis.
Di sisi lain, banyak lembaga publik masih memperlakukan kritik sebagai bentuk permusuhan. Ini menjadi problem serius ketika sistem demokrasi yang seharusnya menjamin partisipasi justru menciptakan ruang-ruang yang eksklusif dan tertutup.
Rakyat Adalah Subjek, Bukan Objek,
Demokrasi modern menempatkan rakyat sebagai subjek: pihak yang aktif, berdaya, dan punya otoritas untuk mengevaluasi kekuasaan. Ketika rakyat hanya dianggap sebagai objek pembangunan hanya dilibatkan saat kampanye, lalu dibungkam setelahnya maka sistem ini kehilangan maknanya.
Perlu disadari bahwa legitimasi kekuasaan dalam sistem demokrasi berasal dari rakyat. Maka sudah sepatutnya kritik dilihat sebagai bentuk partisipasi aktif, bukan sebagai ancaman.
Kita tidak bisa bicara soal kemajuan demokrasi jika pola pikir pemimpinnya masih bercorak feodal. Demokrasi bukan hanya soal pemilu, tapi tentang distribusi kekuasaan yang adil, transparansi, dan keberanian menerima koreksi.
Jika kita ingin demokrasi berjalan sehat, maka feodalisme baik dalam bentuk tindakan maupun pola pikir harus ditolak. Karena ini bukan lagi abad pertengahan, dan rakyat hari ini bukan lagi pihak yang harus tunduk tanpa tanya.
Demokrasi menuntut ruang bicara, bukan ruang sujud.
( Red )