Jakarta – Malam ini, Senin (1/9), ibu kota tampak kembali normal selepas aksi besar-besaran yang mengguncang pusat kota sejak siang hingga sore. Jalan Jenderal Sudirman yang beberapa jam lalu dipenuhi lautan manusia kini lengang. Lalu lintas kembali lancar, halte-halte TransJakarta seperti Bendungan Hilir, Polda Metro Jaya, dan Bundaran Senayan Bank DKI beroperasi lagi, seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
Namun, ketenangan di permukaan itu tidak serta-merta menandakan masalah telah usai. Di balik jalanan yang kembali teratur, aparat kepolisian masih tampak berjaga di sejumlah titik strategis. Dari trotoar hingga simpang jalan, kehadiran aparat memberi pesan jelas: negara belum sepenuhnya yakin bahwa gejolak sudah padam.
Aksi yang terjadi siang hingga sore tadi bukan sekadar kerumunan sesaat. Ia adalah akumulasi dari keresahan masyarakat terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak. Isu politik dan ekonomi berpadu, menjelma tuntutan yang membawa ribuan orang turun ke jalan. Maka wajar bila ketenangan malam ini justru menimbulkan pertanyaan: apakah benar stabilitas kembali, atau sekadar istirahat sebelum gelombang lebih besar?
Cecep Anang Hardian, dari salah satu masyarakat yang dimintai pendapat terkait hal ini, menilai bahwa kondisi Jakarta malam ini harus dibaca secara kritis. “Kondisi lancar pasca aksi jangan membuat pemerintah terlena. Ketenangan ini hanyalah semu jika aspirasi rakyat tidak dijawab. Bila tuntutan terus diabaikan, gelombang berikutnya bisa lebih besar dan lebih sulit dikendalikan,”ujarnya kepada *kamarberita.id*
Cecep menegaskan, pemerintah sering kali terjebak pada paradigma keamanan: bagaimana menjaga lalu lintas tetap lancar, bagaimana memastikan demonstrasi tidak meluas. Padahal, substansi tuntutan seringkali dikesampingkan. “Mengamankan jalan itu penting, tapi mengamankan kepercayaan rakyat jauh lebih penting,” tambahnya.
Kritik ini bukan tanpa alasan. Pengalaman menunjukkan bahwa aksi massa di Jakarta kerap muncul dalam siklus berulang: protes besar, redam sesaat, lalu muncul kembali dengan isu yang sama atau bahkan lebih kompleks. Situasi semacam ini melelahkan, bukan hanya bagi aparat dan masyarakat, tetapi juga bagi kualitas demokrasi itu sendiri.
Malam ini, di balik jalanan yang tampak bersih dan halte yang kembali melayani, petugas kebersihan masih bekerja keras mengangkut sisa-sisa aksi. Sampah botol air mineral, poster, dan spanduk protes menjadi saksi bisu bahwa suara rakyat sempat bergema kencang di jantung ibu kota. Membersihkan sampah mungkin mudah, tetapi membersihkan akar persoalan jelas jauh lebih rumit.
Bagi warga biasa, kembalinya transportasi publik adalah kabar baik. Namun bagi pengamat politik, situasi ini justru menimbulkan kekhawatiran. Tanpa langkah nyata dari pemerintah, ketenangan Jakarta hanya akan mempertebal jurang antara rakyat dan penguasa. Pada titik tertentu, jurang itu bisa menjadi pemicu ledakan sosial yang lebih besar.
Cecep menutup analisisnya dengan peringatan keras: *“Dialog harus segera dibuka, ruang komunikasi mesti diperluas. Jika pemerintah terus menutup telinga, aksi massa tidak lagi sekadar unjuk rasa, melainkan simbol perlawanan. Dan ketika rakyat sudah kehilangan kepercayaan, maka tidak ada jumlah aparat yang cukup untuk meredamnya.”
Kini, publik menunggu jawaban dari pemerintah. Apakah ketenangan malam ini akan menjadi awal rekonsiliasi politik, atau sekadar fatamorgana yang akan segera sirna ketika bara di bawah permukaan kembali menyala?
( ina)