Beranda / Berita / Artikel / Kader to keder: Menyoal Adab, Adaptasi, dan Regenerasi Ormawa

Kader to keder: Menyoal Adab, Adaptasi, dan Regenerasi Ormawa

Transisi pasca-pandemi COVID-19 telah melahirkan sebuah fenomena yang lazim kita sebut sebagai kenormalan baru. Namun, di tengah hiruk-pikuk kehidupan kampus, kenormalan baru ini tampaknya memicu sebuah dilema mendasar, terutama dalam arena organisasi kemahasiswaan. Pilar utama organisasi, yang kita kenal sebagai kaderinsan yang dididik dan dipersiapkan untuk memimpin—kini dihadapkan pada tantangan etika dan regenerasi yang akut. Observasi menunjukkan adanya pergeseran sikap pada generasi baru kader terhadap para senior atau alumni mereka, sebuah perubahan yang mengusik dan memunculkan pertanyaan: apakah tradisi penghormatan telah tergerus, ataukah tuntutan zaman yang memaksa tata krama beradaptasi?

Generasi Digital dan Erosi Forum Informal

Budaya berorganisasi yang kita kenal selama ini dibentuk oleh ritual-ritual non-formal: kongko-kongko di sekretariat, perbincangan intensif sambil menyeruput kopi, dan diskusi santai yang menjadi ruang transmisi nilai dan sejarah organisasi. Adalah forum-forum informal inilah yang menumbuhkan modal sosial (social capital)—rasa kekeluargaan, saling ketergantungan, dan segan (rasa hormat bercampur sungkan) terhadap pendahulu.

Namun, pasca-pandemi, akselerasi digital dan pengalaman kuliah daring selama bertahun-tahun telah melahirkan generasi yang akrab disebut Digital Native. Generasi ini, yang sebagian besar tidak mengalami fase sosialisasi sosial secara penuh, cenderung lebih individualistik dan egosentris. Interaksi mereka didominasi oleh layar, yang menuntut efisiensi komunikasi dan bukan keintiman.

Dampaknya terasa jelas: tempat berkumpul telah sepi, dan nilai-nilai yang dulunya diserap dari pergaulan kini harus dicari melalui mesin pencari. Perubahan ini secara tidak langsung menumpulkan sensitivitas sosial mereka, membuat para junior tampak minim empati terhadap dinamika sosial di luar lingkaran pribadi.

Hormat Opsional

Perubahan konteks ini termanifestasi dalam praktik etika harian. Banyak senior dan alumni mengungkapkan kekecewaan karena merasa kehadiran mereka kini kurang diapresiasi, bahkan diabaikan. Dalam tradisi organisasi, kedatangan senior adalah momen di mana junior semestinya menghentikan sejenak aktivitasnya, menyambut, dan menunjukkan rasa hormat sebagai bentuk pengakuan atas sumbangsih dan kedudukan mereka.

Namun, yang terjadi saat ini adalah fenomena abai interaksi. Para junior, baik sadar maupun tidak, menunjukkan sikap acuh tak acuh. Ada yang hanya melempar sapaan ala kadarnya, ada yang berpura-pura asing meski mengenal, bahkan ada yang secara terbuka memilih fokus pada gawai atau aktivitasnya sendiri ketika seorang senior hadir.

Bagi generasi terdahulu, sikap ini adalah pelunturan adab. Bagi mereka, segan dan salam bukan hanya etiket, melainkan indikator bahwa proses kaderisasi—proses membangun hubungan saling percaya dan kesinambungan—berjalan dengan baik. Jika hanya datang saat butuh konsultasi atau bantuan, tetapi menunjukkan sikap abai saat senior datang berkunjung, maka hubungan itu bukan lagi kekeluargaan, melainkan sekadar hubungan transaksional.

Kader Menuju Keder

Dahlan Ranuharwijo pernah menegaskan dalam bukunya, bahwa kepemimpinan sejati selalu pro-generasi muda sebagai sarana kesinambungan. Sikap menjauhi atau mencurigai generasi muda adalah pertanda kepemimpinan yang tidak sehat._

Kutipan ini menggarisbawahi pentingnya optimisme pada generasi penerus. Namun, di saat yang sama, timbul kekhawatiran: apakah kesinambungan nilai sedang terancam?

Jika kader adalah individu yang dipersiapkan untuk memikul peran penting, maka modal terpentingnya bukan hanya kecerdasan teknis, melainkan juga keberanian sosial dan kematangan etika. Ketika tradisi penghormatan lenyap, dan adab dianggap tidak relevan, dikhawatirkan sang kader yang seharusnya berani dan teguh, malah berubah menjadi keder—gentar, kehilangan nyali, dan gemetar secara sosial di hadapan tantangan dunia nyata. Krisis etika ini adalah krisis mentalitas yang membahayakan masa depan organisasi.

Sebab, jika pola abai ini dibiarkan, ia akan menjadi budaya baru. Hukum sebab-akibat akan berlaku: generasi yang saat ini tidak menghormati pendahulunya, kelak akan diperlakukan sama oleh penerusnya. Lingkaran setan ini akan memutus rantai nilai organisasi.

Tanggung Jawab Dua Arah

Dilema ini tidak dapat disimpulkan dengan menunjuk satu pihak sebagai terdakwa. Ini adalah masalah adaptasi budaya yang menuntut introspeksi dari dua arah.

Untuk Para Senior/Alumni: Kesinambungan tidak dapat dipaksakan dengan cara lama. Senior harus melakukan introspeksi dan beradaptasi. Generasi digital native mungkin tidak lagi menghormati karena hierarki struktural, tetapi karena inspirasi dan relevansi. Senior harus menjadi mentor yang cool dan relevan, bukan sekadar simbol yang menuntut takzim.

Untuk Para Junior/Kader: Etika dan adab bukanlah pilihan, melainkan fondasi kepemimpinan. Seorang pemimpin harus memiliki kepekaan sosial untuk membaca lingkungan dan menghargai relasi. Rasa hormat terhadap pendahulu adalah cara mengakui sejarah dan menghimpun modal sosial. Belajarlah untuk menghentikan gawai sejenak dan menawarkan sapaan tulus; karena modal sosial itu tidak datang dari Google.

Maka, resolusinya terletak pada jembatan. Senior harus bersedia melangkah maju dari menara gading tradisi. Junior harus berani melangkah keluar dari zona nyaman digital. Hanya dengan jembatan dua arah inilah, kita memastikan bahwa generasi penerus tetap menjadi Kader yang tangguh, dan tidak terperosok menjadi Keder yang gentar.

Hotmartua Simanjuntak, S.Hum., adalah seorang mahasiswa muda yang tengah menempuh pendidikan pada Program Magister Sejarah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain aktif dalam kajian akademik, ia juga merupakan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Hak Asasi dan Reformasi Indonesia Sejahtera (DPP GHARIS). Minat kajiannya meliputi sejarah pergerakan mahasiswa, dinamika organisasi, dan transformasi sosial-politik di Indonesia.

 

#OrganisasiMahasiswa

#EtikaOrganisasi

#RegenerasiKepemimpinan

#GenerasiZ atau #DigitalNative

#DilemaSeniorJunior

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *