Belakangan ini, kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia kembali menjadi sorotan. Bukan sekadar insiden terpisah, rentetan peristiwa ini seolah menunjukkan tren yang kian mengkhawatirkan. Seolah-olah, ruang aman bagi para pekerja media semakin menyempit dari hari ke hari.
Menurut data dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, sepanjang tahun 2023, tercatat 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Ini artinya, hampir setiap pekan ada insiden kekerasan yang menimpa jurnalis di lapangan. AJI menyoroti bahwa “tahun politik cenderung meningkatkan potensi kekerasan terhadap jurnalis,” ujar Ketua Umum AJI, Sasmito Madrim, dalam laporan tahunan mereka. Apalagi menjelang Pemilu 2024, ruang gerak pers semakin tertekan, baik oleh kekuatan politik maupun aparat keamanan.
Lebih lanjut, dari seluruh kasus tersebut, aparat kepolisian menjadi aktor yang paling banyak terlibat. Data AJI menyebutkan, hampir 29% pelaku kekerasan adalah polisi. Ironis memang, sebab aparat yang semestinya menjadi pelindung kebebasan sipil malah justru tampil sebagai pelaku pelanggaran hak asasi. Dalam laporan yang sama, AJI menegaskan, “Situasi ini memperlihatkan kegagalan negara dalam menjamin perlindungan terhadap jurnalis.”
Bentuk kekerasan yang paling dominan adalah kekerasan fisik, mulai dari pemukulan, perampasan alat kerja, hingga intimidasi di lapangan. Namun tak hanya itu, kekerasan digital juga semakin meningkat, seperti peretasan, doxing, hingga teror daring yang menargetkan jurnalis yang memberitakan isu sensitif. Lembaga Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mencatat bahwa “jurnalis perempuan bahkan menghadapi ancaman ganda — sebagai jurnalis sekaligus karena identitas gender mereka.”
Fenomena ini juga dikonfirmasi dalam laporan Reporters Without Borders (RSF). Dalam World Press Freedom Index 2023, Indonesia berada di peringkat 108 dari 180 negara, hanya naik tipis dibanding tahun sebelumnya. RSF mencatat, “Ancaman fisik terhadap jurnalis dan keterbatasan akses informasi publik masih menjadi penghalang besar bagi kebebasan pers di Indonesia.”
Kekerasan terhadap jurnalis bukan hanya sekadar serangan terhadap individu, melainkan juga terhadap hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang jujur dan transparan. Seperti yang ditegaskan oleh David E. Kaplan, Direktur Eksekutif Global Investigative Journalism Network (GIJN), “Ketika jurnalis dibungkam, yang dirampas bukan hanya suara mereka, tapi juga hak masyarakat untuk tahu.”
Tak bisa dipungkiri, situasi ini menciptakan efek gentar (chilling effect) di kalangan pekerja media. Banyak jurnalis yang akhirnya memilih untuk menahan atau bahkan mengurungkan niat memberitakan isu-isu sensitif, demi menghindari ancaman yang kian nyata. Padahal, seperti yang disampaikan oleh Komnas HAM, “Hak atas kebebasan berekspresi, termasuk kemerdekaan pers, adalah bagian tak terpisahkan dari hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi.”
Lebih jauh, jika dibiarkan, tren ini akan merusak pilar demokrasi itu sendiri. Demokrasi tak bisa tumbuh di ruang yang dipenuhi ketakutan dan represi. Ruang publik yang sehat hanya bisa terwujud jika para jurnalis dapat bekerja dengan aman, bebas dari ancaman kekerasan.
Oleh karena itu, penting bagi semua pihak — negara, aparat penegak hukum, dan masyarakat — untuk menyadari bahwa perlindungan terhadap jurnalis bukan semata-mata untuk kepentingan profesi mereka, tetapi untuk kepentingan kita semua sebagai warga negara yang berhak tahu.
Seperti yang pernah dikatakan Mahatma Gandhi, “Freedom of the press is the foundation of all other freedoms.”
Dan hari ini, di Indonesia, fondasi itu sedang terancam runtuh.
( Edi )