Home / Berita / Artikel / Kekuasaan : Mesin Produksi “Kebenaran” Lewat Retorika.

Kekuasaan : Mesin Produksi “Kebenaran” Lewat Retorika.

Oleh : cecep Anang Hardian

Dalam sejarah umat manusia, kekuasaan selalu tampil bukan hanya sebagai alat represi, tetapi juga sebagai pabrik pencipta “kebenaran.” Ia tidak sekadar menghukum atau membungkam, tetapi merangkai narasi, menyulam retorika, dan membentuk persepsi kolektif—hingga yang palsu pun dipercaya sebagai fakta. Inilah wajah kekuasaan modern: bukan lagi tukang pukul, melainkan tukang cerita yang lihai.

Retorika Sebagai Senjata Halus Kekuasaan

Dalam demokrasi yang tampaknya terbuka, kekuasaan bergerak lebih licin. Ia tidak selalu berbicara dalam bentuk perintah atau paksaan, melainkan dalam bentuk wacana. Lewat pidato, media, kurikulum, bahkan iklan layanan masyarakat, kekuasaan menciptakan narasi yang dianggap sah, ilmiah, dan tak terbantahkan.

Contohnya mudah ditemukan: pemerintah berbicara soal “pertumbuhan ekonomi” sambil menyingkirkan pembicaraan soal ketimpangan. Atau ketika aparat menyebut tindakan represif sebagai “penertiban.” Kata-kata seperti “stabilitas nasional,” “kedaulatan,” atau “ancaman radikalisme” sering menjadi jubah moral yang membenarkan kebijakan-kebijakan represif. Di balik retorika itulah, kekuasaan menyembunyikan logika kekerasannya.

Siapa yang Berhak Menentukan Kebenaran?

Filsuf Michel Foucault sudah sejak lama mengingatkan bahwa kebenaran bukanlah sesuatu yang netral. Ia lahir dari relasi kuasa. Yang berkuasa menentukan apa yang disebut “normal”, “rasional”, bahkan “ilmiah”. Maka jangan heran jika data statistik bisa dipelintir menjadi dalih untuk penggusuran, atau sejarah direvisi demi legitimasi politik.

Kekuasaan memproduksi kebenaran seperti pabrik memproduksi barang. Ia menentukan mana informasi yang layak disebarluaskan, mana yang layak disensor. Ia memelihara akademisi, media, hingga influencer yang loyal untuk membentuk opini publik sesuai kepentingannya. Di sinilah kebenaran berhenti menjadi pencarian dan berubah menjadi proyek politik.

Kebenaran yang Dibungkam, Suara yang Disingkirkan

Masalahnya, dalam proses produksi “kebenaran” itu, suara-suara alternatif kerap dibungkam. Petani yang menolak tambang dianggap anti-pembangunan. Aktivis HAM dilabeli sebagai pengganggu stabilitas. Kritik dipelintir sebagai ujaran kebencian. Demokrasi yang seharusnya memberi ruang justru dikendalikan oleh kekuasaan yang menguasai bahasa, simbol, dan narasi.

Jika kita tidak waspada, maka kebenaran akan berubah menjadi apa yang dikehendaki penguasa. Kita akan hidup dalam dunia semu, di mana realitas dibentuk oleh para pemilik panggung.

Melawan dengan Kesadaran Kritis.

Maka tugas utama warga bukan hanya menolak penindasan fisik, tapi juga melawan hegemoni makna. Kita perlu membaca ulang narasi yang disodorkan kekuasaan, mempertanyakan apa yang disebut “data”, mengkritisi “fakta” resmi, dan memberi ruang bagi suara-suara yang dibungkam.

Kesadaran kritis adalah bentuk perlawanan pertama terhadap dominasi simbolik kekuasaan. Karena bila kita diam, bukan hanya tubuh yang akan dibungkam, tetapi juga pikiran kita. Dan ketika pikiran sudah dikuasai, penindasan tidak lagi terlihat sebagai penindasan—melainkan sebagai “kebenaran.”

 

(Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *