Oleh : Cecep Anang Hardian
Dalam ruang sosial yang timpang baik di keluarga, organisasi, maupun politik figur dengan kecenderungan Narcissistic Personality Disorder (NPD) sering kali tampil dominan. Mereka menguasai narasi, memelintir fakta, dan menjadikan konflik sebagai alat kontrol. Tak sedikit korban yang akhirnya terdorong untuk membalas: meluruskan tuduhan, membuka kebohongan, atau menuntut pengakuan.
Namun, kesadaran yang matang justru membawa pada kesimpulan yang berlawanan, membalas NPD bukan bentuk perlawanan, melainkan perpanjangan dari dominasi itu sendiri.
Membalas Adalah Legitimasi terhadap Kuasa Manipulatif
NPD tidak beroperasi dalam ruang dialog yang setara. Mereka bekerja dalam relasi kuasa yang timpang, di mana emosi korban menjadi sumber energi utama. Setiap balasan baik berupa klarifikasi, kemarahan, maupun pembelaan diri secara tidak sadar mengakui posisi mereka sebagai pusat konflik.
Dalam konteks sosial-politik, ini serupa dengan rezim manipulatif yang hidup dari kegaduhan. Kritik emosional tidak melemahkan kekuasaan, justru menguatkan legitimasinya. Orang yang sadar memilih keluar dari pusaran itu, karena ia paham tidak semua perlawanan harus dilakukan di medan yang ditentukan lawan.
NPD dan Budaya Anti-Refleksi
Salah satu ciri paling berbahaya dari NPD adalah ketidakmampuannya untuk bercermin. Kritik tidak diterjemahkan sebagai koreksi, melainkan ancaman. Fakta dianggap serangan. Kebenaran dipersepsikan sebagai upaya menjatuhkan.
Dalam skala sosial, pola ini mirip dengan elit yang kebal kritik menyalahkan balik, memproduksi narasi tandingan, dan memosisikan diri sebagai korban. Membalas dalam kondisi seperti ini bukanlah pendidikan publik, melainkan konsumsi ego yang tidak pernah kenyang.
Balasan Menjaga Sistem Kekerasan Tetap Hidup
Setiap respons memperpanjang siklus. Setiap reaksi menjaga sistem tetap bekerja. Dalam relasi personal maupun sosial, kekerasan psikologis tidak selalu bertahan karena kekuatan pelaku, tetapi karena keterikatan korban.
Kesadaran menawarkan jalan yang lebih radikal: penarikan energi.Karena apa yang tidak lagi diberi energi, lambat laun kehilangan daya hidupnya.
Diam sebagai Tindakan Politik
Diam sering dituduh sebagai sikap apatis. Padahal, dalam konteks tertentu, diam adalah tindakan politik paling subversif. Ia menolak logika reaktif. Ia memutus siklus provokasi. Ia mengembalikan kendali ke tangan individu.
Diam bukan berarti tunduk. Diam berarti tidak lagi menjadi alat. Dalam masyarakat yang dijejali kegaduhan, ketenangan justru menjadi bentuk perlawanan yang langka.
Ketidaktersediaan: Batas yang Tidak Bisa Dimanipulasi
Yang paling meruntuhkan struktur NPD bukan serangan frontal, melainkan kehilangan akses. Ketika korban tidak lagi merespons, tidak lagi menjelaskan, dan tidak lagi terlibat, mekanisme kontrol kehilangan fondasinya.
Ketidaktersediaan adalah batas yang tidak bisa dinegosiasikan, tidak bisa dipelintir, dan tidak bisa dimanipulasi. Ia sunyi, tapi efektif.Dari Keadilan Emosional ke Kedaulatan Diri
Orang yang sadar memahami bahwa tidak semua ketidakadilan bisa diselesaikan secara langsung. Tidak semua pelaku bisa dihadapkan ke pengadilan moral. Dan tidak semua luka membutuhkan pengakuan dari pihak yang melukai.
Kesadaran menggeser orientasi hidup dari tuntutan keadilan instan menuju kedaulatan diri yang berkelanjutan.
Tidak membalas NPD bukan berarti membiarkan ketidakadilan. Ia adalah pilihan sadar untuk tidak terus-menerus hidup dalam sistem yang dirancang untuk menguras energi dan martabat.
Dalam dunia yang bising oleh ego dan manipulasi, kesadaran memilih jalan yang lebih sunyi namun bermakna: menarik diri, menjaga integritas, dan bertumbuh di luar arena kekerasan simbolik.
Karena pada akhirnya, kekuasaan terbesar bukan pada siapa yang paling lantang,
melainkan pada siapa yang tidak lagi bisa dikendalikan.
( red )












