Oleh : Cecep Anang Hardian
Pada abad ke-5 Masehi, Kekaisaran Romawi yang agung berlutut di hadapan seorang asing yang datang dari timur : **Attila the Hun**, yang dikenal dunia dengan julukan *Flagellum Dei*, Cambuk Tuhan.
Ia bukan raja besar. Ia bukan diplomatikus. Ia bahkan bukan bagian dari peradaban yang diakui kala itu. Tapi justru dari pinggiran itulah datang kekuatan yang menghapus kota-kota, mengguncang para kaisar, dan membuat sejarah berbelok arah.
Romawi tidak kalah karena serangan itu kuat. Romawi kalah karena terlalu lama buta, terlalu lama tuli, terlalu lama percaya bahwa kejayaan tak akan habis.
Dan di titik ini, kita perlu bertanya :
Apakah negeri ini sedang menjadi Romawi?
Ketika Kekuasaan Tidak Lagi Mendengar
Fenomena kekuasaan yang menutup telinga adalah penyakit klasik peradaban tua.
Di negeri ini, ia muncul dalam bentuk yang sangat familiar:
Rakyat berbicara, pemerintah menepisnya sebagai hoaks.
Aktivis bersuara, dianggap pembuat gaduh.
Mahasiswa turun ke jalan, diberi label pengganggu stabilitas.
Negara menjadi terlalu sibuk membungkus narasi positif sambil mengecilkan dan membungkam kritik.
Kekuasaan tidak hanya tak mendengar, ia menolak mendengar.
Dan lebih buruk lagi, ia menciptakan sistem agar rakyat berhenti bicara.
Di titik itu, kekuasaan berhenti menjadi pengayom, dan mulai berubah menjadi ancaman.
Tuli yang Dibangun Secara Sengaja
Tuli yang kita lihat hari ini bukan tuli teknis. Ini tuli yang dibangun secara sistematis:
Lewat UU yang membungkam, bukan melindungi.
Lewat aparat yang lebih cepat menangkap spanduk daripada menyelamatkan korban kekerasan.
Lewat birokrasi yang hanya patuh ke atas, bukan ke bawah.
Semuanya diarahkan agar suara rakyat menjadi latar belakang sunyi.
Dibuat tidak penting.
Padahal, justru di suara itu terkandung peringatan. Dan seperti sejarah membuktikan, peringatan yang diabaikan… akan berubah menjadi perlawanan.
Attila Tak Akan Datang dengan Kuda—Tapi Bisa Berwujud Apa Saja
Di era ini, Attila tak perlu datang dengan pasukan berkuda. Ia bisa hadir sebagai:
Krisis ekonomi yang dibiarkan meledak.
Generasi muda yang tumbuh dengan kecewa dan kehilangan arah.
Rakyat kecil yang bangkit karena sudah tidak punya apa-apa lagi untuk dipertahankan.
Dan ketika semuanya itu menyatu, tak ada lagi yang bisa dilawan dengan konferensi pers atau slogan nasionalisme murahan.
Kritik Bukan Ancaman. Diamlah yang Berbahaya.
Kritik hari ini adalah pagar yang melindungi kekuasaan agar tak jatuh ke jurang.
Tapi ketika pagar dianggap musuh, maka kekuasaan sedang menggali lubangnya sendiri.
Kita tidak butuh Attila. Tapi jika kekuasaan terus tuli, maka ia akan muncul.
Bukan karena dibentuk, tapi karena diciptakan oleh kebutaan sistematis dan arogansi struktural.
Penutup : Masih Ada Waktu, Tapi Tidak Banyak
Kita belum sampai di titik kehancuran. Tapi jalan ke sana sudah dibuka.
Dan sejarah tidak pernah lupa pada mereka yang menolak belajar.
Jika negeri ini ingin selamat, maka satu-satunya jalan adalah:
belajar mendengar.
Bukan hanya mendengar apa yang ingin didengar,
tapi apa yang harus didengar.
Rakyat. Kritik. Ketidaknyamanan. Kebenaran yang pahit.
Karena kekuasaan yang tuli akan tetap berdiri tinggi — hingga tanah di bawahnya ambruk diam-diam.
( Red )