Oleh : Cecep Anang Hardian
Sejarah selalu mencatat peristiwa besar: perang, revolusi, kebangkitan bangsa, dan runtuhnya rezim. Tapi sejarah jarang mencatat apa yang terjadi dalam hati manusia saat semua itu berlangsung. Tangisan dalam diam, kehilangan tanpa pusara, trauma tanpa nama—itulah luka-luka yang tak diakui sebagai luka.
Ambil contoh masa penjajahan. Kita mengenang pahlawan yang gugur di medan perang, tapi bagaimana dengan para ibu yang kehilangan anaknya? Bagaimana dengan perempuan yang menjadi korban kekerasan, namun dilupakan karena dianggap “risiko dari perjuangan”? Sejarah mencatat kemenangan, tapi tidak selalu mencatat duka yang menyertainya.
Atau masa 1965, ketika bangsa ini diguncang oleh konflik ideologi. Ratusan ribu orang ditangkap, diasingkan, dibunuh. Namun luka yang lebih senyap adalah stigma yang diwariskan kepada anak dan cucu mereka. Anak-anak yang tumbuh dengan identitas yang dicurigai, keluarga yang dibisukan oleh rasa malu dan takut. Luka mereka tidak berdarah, tapi mengalir dalam diam selama puluhan tahun.
Pada masa reformasi 1998, kita mengenang gerakan mahasiswa dan tumbangnya rezim. Namun banyak perempuan etnis Tionghoa yang diserang dan dilecehkan, lalu dikubur dalam narasi yang nyaris tak disebutkan. Luka mereka tidak tertulis dalam buku pelajaran, padahal rasa sakitnya nyata. Luka yang tak diakui sebagai luka.
Sejarah menuntut ingatan. Tapi ingatan pun bisa selektif. Ia bisa melupakan yang tak dianggap penting oleh penguasa, oleh narasi besar, oleh masyarakat yang lebih suka nyaman daripada jujur.
Kini, kita hidup di masa yang lebih terbuka. Tapi luka-luka itu masih hidup, meski generasinya sudah berganti. Karena luka yang tak diberi ruang untuk diakui akan terus mewariskan rasa sakitnya. Maka tugas kita bukan hanya mencatat peristiwa, tapi juga mendengarkan bisikan luka-luka kecil yang terlupakan.
Sebab hanya ketika kita mengakui luka-luka itu sebagai bagian dari sejarah, kita bisa mulai menyembuhkannya—baik sebagai individu, maupun sebagai bangsa.
( Red )