Beranda / Opini / Madilog di Era Digital Melawan Hoaks, Dogma Baru, dan Penjajahan Akal

Madilog di Era Digital Melawan Hoaks, Dogma Baru, dan Penjajahan Akal

Oleh : Cecep Anang Hardian

Di tengah ledakan teknologi digital, kemerdekaan berpikir justru menghadapi ancaman baru. Bukan lagi penjajahan bersenjata, melainkan penjajahan algoritma, narasi viral, dan opini instan yang membanjiri ruang kesadaran publik. Ironisnya, di era yang disebut paling rasional dan modern ini, cara berpikir mistis, emosional, dan dogmatis justru menemukan bentuk barunya. Di titik inilah pemikiran Tan Malaka melalui Madilog kembali relevanbahkan mendesak.

Tan Malaka sejak awal mengingatkan bahwa kemerdekaan sejati tidak cukup berhenti pada politik dan ekonomi. Bangsa yang akalnya masih dikuasai takhayul, mitos, dan logika terbalik akan mudah digiring, meski hidup di zaman paling canggih sekalipun. Hari ini, takhayul tidak lagi selalu berbentuk klenik, tetapi hadir sebagai hoaks yang dikemas ilmiah, ujaran kebencian yang dibungkus moral, serta dogma digital yang disebar masif lewat media sosial.

Dalam lanskap digital, kebenaran sering kalah oleh viralitas. Emosi lebih cepat dipercaya dibanding data. Opini lebih laku daripada fakta. Masyarakat digiring untuk bereaksi, bukan berpikir. Inilah bentuk baru dari irasionalitas yang pernah dikritik Tan Malaka—bedanya, kini ia diproduksi secara sistematis dan masif. Tanpa fondasi berpikir ilmiah, publik berubah menjadi konsumen informasi, bukan subjek yang sadar dan kritis.

Materialisme dalam Madilog mengajarkan kita untuk kembali berpijak pada realitas. Di era digital, ini berarti keberanian memeriksa fakta, membaca data, dan memahami kondisi objektif, bukan sekadar mempercayai narasi yang sesuai selera. Dialektika mengingatkan bahwa realitas sosial selalu bergerak dan penuh kontradiksi. Tidak ada persoalan yang bisa disederhanakan menjadi hitam-putih seperti yang sering dipaksakan algoritma media sosial. Sementara logika menjadi benteng terakhir agar akal tidak tumbang oleh retorika kosong, framing manipulatif, dan kepentingan tersembunyi.

Masalahnya, budaya digital hari ini justru mematikan proses berpikir itu. Segala sesuatu dituntut cepat, ringkas, dan instan. Akibatnya, nalar dikorbankan demi sensasi. Masyarakat menjadi reaktif, mudah marah, mudah percaya, dan mudah diadu domba. Dalam kondisi seperti ini, Madilog bukan lagi sekadar bacaan filsafat, melainkan alat perlawanan intelektual terhadap pembodohan massal.

Tan Malaka pernah menegaskan bahwa bangsa yang tidak berpikir dengan benar akan terus menjadi objek sejarah. Pernyataan itu terasa sangat aktual hari ini. Ketika akal publik dikuasai oleh opini pesanan, buzzer, dan dogma digital, maka demokrasi kehilangan maknanya, dan kemerdekaan hanya tinggal simbol. Yang terjadi bukan kebebasan berpikir, melainkan kebebasan disesatkan.

Karena itu, menghidupkan kembali semangat Madilog di era digital adalah sebuah keharusan. Bukan untuk memuja masa lalu, melainkan untuk menyelamatkan masa depan. Bangsa yang mampu berpikir materialis, dialektis, dan logis adalah bangsa yang tidak mudah ditipu, tidak gampang dipecah, dan tidak tunduk pada manipulasi kekuasaan—baik yang datang dari luar maupun dari dalam.

Pada akhirnya, kemajuan teknologi tidak akan berarti apa-apa jika tidak dibarengi kematangan nalar. Sebab tanpa kemerdekaan akal, manusia hanya berpindah dari satu bentuk penjajahan ke bentuk penjajahan lain. Dan mungkin, inilah pesan paling radikal dari Tan Malaka yang masih relevan hingga hari ini bahwa perjuangan terbesar bukanlah merebut ruang digital, melainkan membebaskan cara berpikir manusia di dalamnya.

( red )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *