Home / Daerah / Menyalakan Kota dari Sampah: Ambisi Besar PSEL Cipeucang dan Jejak Jejak Energi Hijau di Tangsel

Menyalakan Kota dari Sampah: Ambisi Besar PSEL Cipeucang dan Jejak Jejak Energi Hijau di Tangsel

Di sudut Tangerang Selatan yang selama ini luput dari sorotan, sebuah rencana ambisius tengah disusun rapi. Di Cipeucang, bukan sekadar tumpukan sampah yang akan disusun, melainkan fondasi untuk masa depan energi bersih di kota satelit Jakarta ini. Proyek yang mungkin tak banyak orang perhatikan sekarang, tapi bisa jadi menjadi cetak biru bagi pengelolaan sampah modern di Indonesia.

PT Maharaksa Biru Energi Tbk (OASA), lewat konsorsium anak usahanya PT Indoplas Energi Hijau bersama raksasa energi asal China, China Tianying Inc (CNTY), menyiapkan investasi fantastis: Rp 2,6 triliun. Tujuan mereka bukan sekadar merapikan sampah kota, tapi mengubahnya menjadi sumber listrik yang bersih.

“Groundbreaking kami harapkan bisa terlaksana tahun ini,” kata Bobby Gafur Umar, Presiden Direktur OASA, dalam konferensi pers di kantornya di kawasan SCBD Jakarta, Jumat, 11 April 2025.
Bobby berbicara dengan nada penuh keyakinan — seakan sampah yang menggunung itu sudah siap dipetik menjadi energi.

Di Balik Optimisme, Mesin-Mesin Bergerak

PSEL Cipeucang dirancang untuk mengolah 1.100 ton sampah per hari, dengan teknologi Moving Grate Incinerator (MGI) — teknologi yang diklaim mampu memusnahkan hingga 90% limbah yang masuk, tanpa meninggalkan asap atau bau menusuk yang selama ini menjadi momok bagi warga sekitar.

MGI ini bukan sekadar jargon. Di negara tetangga, Singapura, teknologi serupa telah diterapkan dengan hasil memuaskan. Asap putih yang biasanya kita asosiasikan dengan pembakaran tak sempurna, diklaim lenyap oleh sistem filtrasi canggih mereka. Standar internasional soal green energy diadopsi, agar Tangsel tak sekadar jadi proyek percontohan, tapi juga bukti bahwa kota-kota di Indonesia bisa menyaingi kota maju dalam pengelolaan limbah modern.

Lebih jauh, Surat Penetapan Pemenang Lelang telah resmi diterbitkan oleh Pemerintah Kota Tangsel pada 21 Maret 2025. Ini bukan lagi sekadar wacana di atas kertas. Proyek ini akan memulai konstruksi awal pada 2026, dan ditargetkan beroperasi penuh pada 2028.

Ambisi Bukan Tanpa Tantangan

Namun, jika kita telisik lebih dalam, proyek sebesar ini tak hanya bicara soal mesin dan angka. Ia bicara soal transparansi, keberlanjutan, dan kepercayaan publik.

Investasi besar dari luar negeri selalu membawa dua sisi mata uang: di satu sisi, teknologi dan percepatan pembangunan; di sisi lain, kekhawatiran akan ketergantungan dan kepentingan jangka panjang. Apalagi, dalam konteks pengelolaan sampah yang selama ini dikenal penuh tambal sulam — dari minimnya partisipasi masyarakat dalam memilah sampah, hingga persoalan lahan dan resistensi warga sekitar.

Lalu, pertanyaan klasik lain pun menggema: siapa yang benar-benar diuntungkan? Apakah listrik hasil pembakaran ini akan kembali ke masyarakat sekitar, atau justru akan dijual ke jaringan besar dengan harga tinggi?

Proyek ini menjanjikan efisiensi, tapi juga harus diuji komitmennya dalam menjaga lingkungan dan sosial. Jangan sampai proyek yang bertujuan menyelamatkan bumi, justru mencederai ekosistem dan komunitas lokal.

Mimpi Kota Bebas Sampah?

Tangerang Selatan, seperti banyak kota lain di Indonesia, bergulat dengan masalah sampah yang kian menyesakkan. Setiap hari, sampah rumah tangga menumpuk, dan tempat pembuangan akhir hanya menunggu waktu untuk kolaps. Tanpa inovasi berani, kita hanya akan menunda bencana ekologis yang pasti datang.

PSEL Cipeucang, dengan semua janjinya, bisa menjadi awal perubahan.
Jika sukses, proyek ini tak hanya akan menyalakan lampu-lampu rumah di Tangsel. Ia bisa menyalakan harapan baru bahwa sampah, yang selama ini kita pandang jijik, sebenarnya menyimpan energi untuk kehidupan yang lebih terang.

Namun untuk sampai ke sana, butuh lebih dari sekadar mesin pembakar dan pidato optimistis. Dibutuhkan transparansi, pengawasan ketat, dan keterlibatan masyarakat. Karena sesungguhnya, mengubah sampah menjadi energi bukan sekadar soal membakar limbah, tapi juga membakar semangat kolektif untuk menjaga bumi bersama.

( Edi )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *