Oleh : Cecep Anang Hardian
Kita hidup di negeri yang sudah terlalu lama memberi kesempatan pada orang-orang yang tak tahu malu.
Ada yang mencuri dari dapur rakyat, lalu menyembunyikannya di balik rekening gendut dan kotak-kotak amal palsu. Ada pula yang mencuci jejaknya dengan sedekah di depan kamera, seolah uang itu suci karena dipotret.
Tapi negara seperti kehilangan tangan. Ia bisa menghukum, tapi tak bisa mengambil kembali. Ia bisa mengadili, tapi harta hasil kejahatan masih tinggal di rumah-rumah yang pintunya tak pernah diketuk aparat.
Di luar sana, dunia sudah lebih dulu paham: kadang, keadilan harus berjalan lebih cepat daripada vonis. Di beberapa negara, negara bisa menyita aset mewah yang tak masuk akal: rumah tiga lantai tanpa pekerjaan tetap, mobil sport di nama istri pejabat, atau tambang emas atas nama sopir pribadi.
Negara mereka tak menunggu pelaku mengaku. Mereka hanya bertanya: dari mana asalnya? Jika tak bisa dijelaskan, harta itu dirampas. Bukan demi dendam. Tapi demi menjaga makna kerja keras.
Dan yang dirampas bukan hanya uang. Tapi juga simbol: rumah sombong yang dulu mengejek rakyat, kini jadi panti jompo. Tanah bekas sogokan disulap jadi taman bermain. Bangku restoran koruptor kini diduduki anak-anak yatim yang tertawa tanpa tahu siapa pemilik sebelumnya.
Sementara kita?
Rancangan undang-undang tentang perampasan aset sudah lama tidur di meja-meja DPR. Dan setiap kali hendak dibangunkan, terdengar suara lirih dari lorong kekuasaan: “Tunggu dulu, jangan buru-buru.” Padahal, yang cepat bukan keadilan. Yang cepat adalah cara para perampok menyembunyikan jejaknya.
Jika jalan konstitusi disumbat oleh musyawarah yang terlalu banyak kepentingan, maka negara harus berani memotong tali simpulnya. Presiden punya jalan itu: Perppu. Karena dalam kondisi luar biasa, kita butuh keberanian luar biasa. Dan tak ada yang lebih luar biasa dari bangsa yang memilih berpihak pada yang benar, bukan yang kuat.
Perampasan aset bukan hanya alat hukum. Ia adalah cara negara menunjukkan bahwa ia masih punya tulang punggung. Bahwa ia tak tunduk pada mereka yang mengakali undang-undang, lalu tertawa di balik pagar tinggi.
Keadilan tidak menunggu lengkapnya bukti. Ia hanya ingin ada niat untuk bertindak.
Jika negara tak berani belajar merampas, maka jangan salahkan rakyat bila mereka mulai belajar merampas kembali haknya dengan caranya sendiri.
( Red )












