Oleh : cecep Anang Hardian
Kita hidup dalam negeri yang katanya kaya: kaya budaya, kaya sumber daya, kaya sejarah perjuangan. Tapi kekayaan itu kini tampak seperti ilusi yang perlahan memudar. Karena kenyataannya, negeri ini tidak hancur karena banyaknya perbedaan melainkan karena satu hal yang jauh lebih berbahaya:
ketidakpedulian
Mari kita bicara jujur.
Lihat pendidikan kita.Anak-anak di pelosok masih belajar di ruang kelas tanpa atap, tanpa meja, tanpa guru yang cukup. Sementara di kota, uang menjadi tiket utama untuk mendapatkan pendidikan berkualitas. Kita tahu ini. Kita baca beritanya. Tapi berapa banyak dari kita yang peduli? Kita lebih sibuk debat kurikulum di media sosial daripada mendorong kebijakan yang merata dan adil.
Lihat wajah korupsi. Dari pusat hingga daerah, uang rakyat dikuliti perlahan-lahan. Proyek-proyek fiktif, pengadaan barang penuh mark-up, dana bansos disunat. Tapi kita terlalu cepat lupa. Seorang koruptor bisa tertangkap, dihukum ringan, lalu hidup nyaman. Masyarakat? Cuma mengeluh sebentar, lalu move on. Kita tidak bertindak, bahkan untuk sekadar bersuara.
Lihat lingkungan kita. Hutan dibabat atas nama investasi. Sungai dicemari limbah industri. Udara kotor jadi teman sehari-hari. Tapi kita sibuk menyalakan AC, membeli plastik sekali pakai, tanpa bertanya: apa yang akan diwariskan ke generasi setelah kita?
Lihat politik kita. Demokrasi berubah jadi dagang sapi. Pemilu bukan lagi ajang adu gagasan, tapi adu uang, popularitas, dan pencitraan. Kita tahu siapa yang bermain kotor. Tapi kita diam atau lebih parah kita ikut memilih mereka, demi alasan “ya daripada yang lain”.
Lihat ketimpangan sosial. Sementara segelintir orang bisa membakar uang untuk hobi mahal, jutaan lainnya antre minyak goreng, berebut sembako, atau bertahan hidup dengan gaji di bawah layak. Dan saat mereka protes, mereka dibungkam. Sementara kita? Hanya menonton, lalu kembali sibuk dengan urusan pribadi.
Yang menghancurkan negeri ini bukan hanya para penguasa yang tamak,
tapi warga negaranya yang membisu.Karena sekali lagi: negeri ini tidak runtuh karena perbedaan pandangan atau identitas, tapi karena mayoritas dari kita sudah kehilangan rasa tanggung jawab kolektif. Kita membiarkan sistem yang timpang terus berjalan, karena kita takut ribut, takut susah, atau memang sudah terlalu nyaman dalam zona netral.
Ini bukan lagi soal pemerintah. Ini soal kita. Soal kamu. Soal saya.
Jika kita ingin perubahan, maka kepedulian harus menjadi aksi bukan hanya emosi sesaat. Peduli artinya berani bersuara. Peduli artinya memilih yang benar meski tidak populer. Peduli artinya bergerak, walau sendirian.
Negeri ini tak butuh rakyat yang seragam. Tapi ia butuh rakyat yang sadar: bahwa diam adalah bentuk paling halus dari pengkhianatan.
( Red )