Oleh : Cecep Anang Hardian
Masa lalu yang tak pernah pergi,
Sejarah dunia ditulis bukan hanya dengan darah, senjata, atau strategi perang. Namun juga melalui komoditas rempah-rempah yang memikat para penjelajah, emas yang membutakan mata para raja, dan gula yang membawa kolonialisasi dan perbudakan dalam satu cawan manis yang mematikan. Indonesia, dalam konteks ini, menjadi panggung yang terus menyuguhkan drama panjang eksploitasi dunia—dan kisah itu terus berulang. Bukan hanya pada wajahnya yang berubah, tetapi pada cara yang selalu serupa: merampas, mengeksploitasi, dan meninggalkan rakyat dalam kesengsaraan.
Setelah rempah-rempah dan emas, minyak bumi dan gas menjadi senjata utama Orde Baru dalam memperkokoh kekuasaannya. Lalu kayu, yang dari hutan Kalimantan mengalir deras ke seluruh dunia, menyuburkan korupsi dan merusak ekosistem. Batubara menyusul, menghitamkan langit Sumatera dan paru-paru rakyat, membanjiri kota-kota dengan kabut polusi yang tak kunjung sirna. Dan kini, datanglah nikel, logam yang diklaim sebagai “logam masa depan” untuk transisi energi hijau dunia.
Namun, dalam setiap komoditas yang datang, ada sejarah yang tak pernah hilang. Ia hanya berganti rupa.
Nikel dan janji transisi energi,
Di tengah perbincangan global mengenai transisi energi dan kendaraan listrik, nikel tampil sebagai primadona yang dijanjikan akan membawa perubahan. Namun, di balik janji manis itu, ada kenyataan pahit yang tak bisa dipungkiri. Nikel, yang dianggap kunci untuk menggantikan bahan bakar fosil dalam baterai mobil listrik, justru diambil dengan cara yang sangat kolot dan tidak adil.
Pertama, ada lahan-lahan adat yang tergusur demi membuka ruang bagi eksploitasi tambang. Di Sulawesi, Kalimantan, dan Papua, tanah yang telah diwariskan turun-temurun oleh leluhur dipaksa untuk digusur. Masyarakat adat, yang selama ini menjaga kelestarian alam, terpinggirkan oleh kepentingan besar yang datang dengan janji kesejahteraan. Namun kenyataannya, hanya segelintir elite yang menikmati hasilnya, sementara sebagian besar rakyat hanya menjadi saksi bisu atas perampasan tanah mereka.
Kedua, sungai-sungai yang dulunya menjadi sumber kehidupan kini menjadi tempat pembuangan limbah tambang yang merusak ekosistem. Kehidupan laut dan daratan yang bergantung pada air bersih terancam punah. Komunitas pesisir yang bergantung pada hasil laut kini harus berhadapan dengan polusi yang mengancam mata pencaharian mereka.
Buruh asing, tuan rumah yang terpinggirkan,
Di balik gemerlapnya investasi nikel, ada pula ketimpangan dalam hal upah dan kesejahteraan buruh. Ironisnya, buruh asing, yang didatangkan untuk bekerja di sektor tambang, sering kali mendapat gaji yang lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja lokal. Mereka yang mestinya menjadi pemilik kekayaan alam mereka, malah terpaksa bekerja dengan kondisi yang jauh dari layak. Pekerja lokal yang seharusnya menjadi tulang punggung pembangunan malah dipinggirkan, hidup dalam ketidakpastian, sementara hasil tambang terbang ke luar negeri, ke tangan-tangan korporasi dan negara asing yang dulu datang sebagai penjajah.
Sejarah tak pernah benar-benar pergi,
Jika kita tengok lebih dalam, kita akan menyadari bahwa nikel, meski memiliki potensi besar untuk masa depan, tetap merupakan bagian dari pola lama yang tidak pernah usai. Sejarah eksploitasi yang datang dengan komoditas, yang melibatkan ketidakadilan dan penghilangan hak-hak rakyat, terus berulang. Dari rempah-rempah hingga nikel, Indonesia selalu diposisikan sebagai lahan yang bisa digarap, sementara kekayaan alamnya terbang ke luar negeri, meninggalkan kehancuran ekologis dan sosial.
Para pemimpin negara dan korporasi harusnya sadar bahwa janji manis nikel dan transisi energi tidak akan berarti apa-apa jika prosesnya tetap mengabaikan keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan. Jika nikel benar-benar ingin menjadi logam masa depan, maka cara kita menambangnya harus mengutamakan keberpihakan pada rakyat—terutama masyarakat adat dan buruh lokal—serta memastikan bahwa dampak ekologisnya bisa dikelola dengan bijak.
Kesimpulan: Mengganti Komoditas Bukan Mengubah Sejarah,
Pada akhirnya, transisi energi yang dijanjikan melalui nikel seharusnya tidak hanya menguntungkan segelintir orang, tetapi harus melibatkan semua pihak, mulai dari rakyat yang hidup di tanah yang digusur, hingga pekerja yang menggali nikel di bawah tanah. Tanpa keadilan sosial, transisi ini hanya akan menjadi sejarah baru dari penjajahan yang lebih halus, yang tak pernah benar-benar pergi.
Jika kita ingin melihat perubahan yang nyata, maka perubahan itu harus dimulai dari cara kita melihat dan mengelola sumber daya alam kita. Hanya dengan itu, kita bisa menutup luka lama dan membuka jalan bagi masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan.
Akhir Kata:
Sejarah tidak pernah pergi. Ia hanya berganti komoditas. Dan jika kita tidak hati-hati, kita akan kembali terjebak dalam perangkap yang sama—perangkap ketidakadilan yang menunggu untuk mengulangi dirinya. Jika kita tidak belajar dari masa lalu, kita akan terus terjebak dalam lingkaran yang sama.
( Red )