Home / Opini / Opini : Mereka Menyebut Kami “Penyusup” Sebuah Stigma Lama Kekuasaan

Opini : Mereka Menyebut Kami “Penyusup” Sebuah Stigma Lama Kekuasaan

Olleh: Cecep Anang Hardian

Setiap kali rakyat turun ke jalan untuk menyuarakan suara yang tak didengar, selalu ada risiko lebih dari sekadar peluh dan gas air mata. Ada label yang siap disematkan: “penyusup.” Label ini tidak netral. Ia menstigmatisasi. Ia mendeligitimasi keberadaan seseorang dalam ruang demokrasi yang seharusnya inklusif.

Di Indonesia, demonstrasi bukan barang asing. Namun, ketika yang bersuara bukan berasal dari kelompok resmi—bukan mahasiswa dengan almamater, bukan buruh dengan seragam serikat mereka kerap dianggap sebagai pihak luar yang “tidak sah.” Di sinilah muncul ironi: rakyat disebut penyusup di negerinya sendiri.

Padahal, siapa yang bisa menyusup ke tanah kelahirannya? Siapa yang bisa dianggap asing di tengah kemiskinan dan ketimpangan yang mereka alami sehari-hari?

Label “penyusup” bukan sekadar kata. Ia adalah instrumen kekuasaan. Dengan label itu, suara dikerdilkan, keberanian dicurigai, dan kehadiran dijustifikasi untuk ditekan—baik secara verbal, administratif, bahkan fisik. Ini adalah bentuk eksklusivitas dalam demokrasi, di mana hanya mereka yang memiliki atribut formal dianggap sah untuk berbicara.

Demokrasi Berbaju

Demokrasi seharusnya hidup dari partisipasi semua lapisan warga negara, bukan hanya yang terorganisir secara resmi. Namun yang kita lihat hari ini, seringkali demokrasi dibatasi oleh estetika formal: baju almamater, struktur organisasi, surat izin. Mereka yang hadir tanpa semua itu dianggap mengganggu tatanan, bukan menyumbang suara.

Pola pikir ini berbahaya. Ia menciptakan dua kelas dalam demokrasi: yang layak bicara dan yang sebaiknya diam. Ini bukan demokrasi yang menjamin kesetaraan, melainkan demokrasi yang memberlakukan seleksi.

Hak Menyampaikan Pendapat Bukan Hadiah

Konstitusi menjamin kebebasan menyampaikan pendapat, tidak membatasi hak itu hanya pada organisasi tertentu atau atribut tertentu. Demonstrasi bukan hak istimewa segelintir orang, melainkan instrumen sah untuk menyuarakan ketidakadilan.

Justru mereka yang datang hanya dengan tubuh dan harapan, tanpa seragam dan tanpa pelindung institusional, kerap merepresentasikan jeritan paling jujur dari rakyat. Mereka hadir bukan untuk merusak, tetapi untuk menuntut hak yang terlalu lama diabaikan: hak hidup layak, keadilan ekonomi, hingga pengakuan atas eksistensi.

Kesadaran, Bukan Izin

Mereka yang turun ke jalan tanpa “legalitas” formal membawa satu hal yang lebih substansial: kesadaran. Bahwa suara mereka penting, meski tidak disalurkan melalui saluran yang disetujui negara. Bahwa keberanian untuk menyampaikan pendapat tidak harus datang dari kampus, serikat, atau LSM tapi bisa dari warga biasa yang terlalu lama diam.

Karena itu, penyematan istilah “penyusup” harus dikritisi. Ia adalah cermin dari ketakutan terhadap rakyat yang sadar. Sebuah upaya membungkam melalui bahasa.

Jadi, jangan sebut kami penyusup. Kami bukan asing, bukan pengacau, bukan provokator. Kami adalah bagian dari republik ini yang bersuara bukan karena ingin gaduh, tapi karena terlalu lama ditinggalkan.

 

( Red )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *