Oleh: [Cecep anang hardian]
Pendidikan yang sejati bukanlah soal menjejalkan rumus, menghafal definisi, atau mengejar gelar. Pendidikan sejati, sebagaimana diungkapkan oleh Paulo Freire—seorang pemikir pendidikan asal Brasil—adalah upaya membangkitkan kesadaran kritis. Sebuah kesadaran yang membuat manusia melihat struktur penindasan dalam masyarakat, dan sekaligus memiliki keberanian untuk membebaskan diri darinya bersama orang lain.
Namun ironisnya, alih-alih menjadi jalan pembebasan, pendidikan kerap dijadikan alat reproduksi kekuasaan. Kita diajarkan untuk patuh, bukan untuk bertanya. Kita dilatih untuk menjadi “baik” dalam kerangka yang telah ditentukan, bukan untuk bebas berpikir dan mengolah makna hidup secara mandiri. Murid bukan dipersiapkan menjadi manusia yang merdeka, tapi manusia yang bercita-cita naik ke tampuk kekuasaan, sering kali tanpa menggugat tatanan yang menindas mereka.
Dari Tertindas Menjadi Penindas
Inilah siklus berbahaya yang sering tak disadari: ketika pendidikan gagal membebaskan jiwa dan pikiran, maka mereka yang tertindas tidak lagi bermimpi tentang keadilan. Mereka hanya ingin mengganti posisi. Tidak ingin mengubah sistem, hanya ingin menguasainya.
Pendidikan yang tidak transformatif hanya menghasilkan aktor-aktor baru dalam drama lama penindasan. Mereka yang dulu duduk di bangku terbawah piramida sosial justru berlomba mendaki ke atas—dengan cara yang sama, dalam sistem yang sama, dan sering kali, dengan menindas kelompok lain.
Maka jangan heran jika pergantian pemimpin, pergantian elit, atau bahkan revolusi besar sekali pun, tidak menghasilkan perubahan berarti. Hanya wajah-wajah yang berganti. Kekuasaan tetap terpusat, ketimpangan tetap membesar, dan suara rakyat tetap dibungkam dengan berbagai cara.
Pendidikan sebagai Tindakan Kultural
Paulo Freire menegaskan bahwa pendidikan adalah tindakan kultural dan politis. Ia tidak pernah netral. Ketika ia tidak berpihak pada pembebasan, maka ia hampir pasti berpihak pada penindasan. Karena itu, pendidikan harus berani bersikap: berpihak pada yang tertindas, pada mereka yang tak bersuara, pada cita-cita masyarakat yang adil dan setara.
Pendidikan yang membebaskan tidak menempatkan guru sebagai pemberi kebenaran mutlak dan murid sebagai pendengar pasif. Sebaliknya, ia membangun ruang dialog—di mana setiap individu diajak untuk berpikir, berdiskusi, mempertanyakan, dan menemukan makna melalui pengalaman hidup mereka sendiri.
Menuju Pendidikan yang Membebaskan
Kita memerlukan paradigma pendidikan yang tidak hanya fokus pada keterampilan kerja, kompetisi, dan pencapaian akademik. Kita butuh pendidikan yang mengasah nurani, menumbuhkan solidaritas, dan memantik keberanian moral untuk mengatakan: “Ini tidak adil. Kita harus mengubahnya bersama.”
Pendidikan semacam ini tidak akan lahir dari kurikulum teknokratis atau ujian nasional semata. Ia lahir dari kesadaran bahwa pendidikan adalah ruang politis—ruang yang menentukan masa depan masyarakat. Apakah kita akan terus mencetak generasi yang memelihara sistem yang timpang? Ataukah kita akan membentuk manusia-manusia merdeka yang siap menggugat dan membangun ulang dunia yang lebih adil?
Karena jika pendidikan hanya melahirkan peniru, maka revolusi hanya akan menjadi rotasi: dari satu tiran ke tiran berikutnya. Dan saat itu terjadi, kita gagal sebagai masyarakat yang beradab.Jika Anda ingin mencantumkan nama penulis, afiliasi, atau menyesuaikan tone (misalnya untuk media mahasiswa, blog guru, atau kanal NGO), saya bisa bantu modifikasi.
( red )