Home / Berita / Perubahan Tidak Akan Datang dari Langit

Perubahan Tidak Akan Datang dari Langit

Oleh : Cecep Anang Hardian

Kita hidup dalam budaya yang memuja momentum besar. Hidup yang katanya akan berubah ketika tahun baru tiba, saat gaji naik, ketika bertemu “orang yang tepat”, atau ketika “semesta memberi tanda”. Kita menunggu dentang dari langit sesuatu yang magis, heroik, dan menyelamatkan. Padahal kita tahu, itu tidak akan datang. Tapi tetap kita tunggu. Dan dari penantian itulah, kebekuan justru tumbuh.

Yang jarang kita sadari adalah: perubahan tidak datang dari atas, melainkan dari bawah dari retak kecil di lantai tempat kita berdiri. Lantai itu bernama kebiasaan. Tempat kita menari dalam rutinitas yang sama setiap hari, dengan alasan yang kita daur ulang agar tampak masuk akal: “Belum waktunya,” “Tanggung,” “Lagi banyak kerjaan,” “Nanti kalau sudah siap.”

Retakan yang Kita Abaikan,

Retakan itu sudah muncul. Kita hanya memilih untuk tidak melihat. Kita mematikan alarm di kepala dan hati kita. Kita mendiamkan kegelisahan dengan scrolling tak berujung, membeli hal yang tak perlu, bercanda supaya tak perlu berpikir, atau sibuk membandingkan hidup di media sosial sambil berkata dalam hati, “Kapan ya hidupku berubah?”

Lucunya, kita tahu persis ada yang salah. Tapi kita juga tahu bahwa mengakuinya berarti harus bertindak. Dan bertindak, meski kecil, itu berat. Maka kita memilih menunggu “dentang besar”  sebagai cara untuk menyalahkan keadaan bila tak kunjung berubah.

Padahal, yang membuat kita stagnan bukan dunia luar, tapi ketakutan terhadap ketidaknyamanan.Kita lebih nyaman hidup dalam keluhan yang familiar daripada bergerak ke arah yang belum tentu kita kuasai. Kita lebih suka menyusun rencana yang sempurna lalu menyimpannya.

Budaya Penantian, Budaya Keterjebakan

Kita telah menjadikan penundaan sebagai gaya hidup. Menunda berani. Menunda berkata jujur. Menunda keluar dari lingkaran yang menyedot energi. Kita pintar merancang alasan untuk tidak bergerak. Bahkan kita membungkus kemalasan dengan kalimat-kalimat spiritual atau filosofis: “Mungkin belum saatnya.” “Semua akan indah pada waktunya.” Kalimat-kalimat aman yang meninabobokan kesadaran.

Padahal kalau kita jujur, hidup tidak menunggu kita siap. Hidup hanya terus berjalan. Sementara kita sibuk menunggu “tanda dari langit”, lantai di bawah kita tempat semua kebiasaan berpijak  terus retak. Tapi tidak hancur. Retakan itu justru peluang: untuk menengok, untuk menggali, untuk membongkar kenyamanan palsu.

Cahaya Tidak Menyambar, Ia Menyelinap,

Cahaya tidak datang sebagai kilat. Ia menyelinap diam-diam dari celah paling kecil: dari satu keputusan sederhana yang mungkin terlihat sepele tapi radikal dalam makna. Seperti berani mengatakan “tidak” setelah sekian lama diam. Seperti memilih duduk sendiri dan menulis pikiran yang mengganggu. Seperti berhenti mencari validasi dan mulai mendengar suara diri.

Itulah awal perubahan. Tanpa musik dramatis. Tanpa tepuk tangan. Tapi justru di situlah keberanian sejati muncul — bukan dari gemuruh, tapi dari kesediaan menatap lantai kebiasaan yang mulai retak dan berkata: “Sudah cukup. Aku akan ubah ini.”

Akhirnya, Pilihannya Sederhana,

Mau terus menunggu dentang dari langit, atau mulai menggali celah kecil yang ada di bawah kakimu? Mau terus bersembunyi di balik alibi atau mulai bergerak meski belum sempurna? Karena pada akhirnya, tidak ada yang bisa menyelamatkanmu kecuali keputusanmu sendiri untuk berhenti hidup setengah sadar.

Perubahan tidak magis. Ia menyakitkan, membingungkan, melelahkan. Tapi itu harga dari hidup yang jujur. Dan bila hari ini ada satu hal kecil yang bisa kau ubah lakukan. Retakan itu cukup. Dari sanalah cahaya bisa mulai menyelinap.

 

( Red )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *