Home / Berita / Artikel / Rangkap Jabatan dan Erosi Etika Kepemimpinan di Indonesia*

Rangkap Jabatan dan Erosi Etika Kepemimpinan di Indonesia*

Oleh : Cecep anang hardian.

Fenomena rangkap jabatan yang kian marak di berbagai lembaga negara mencerminkan krisis bukan pada tataran regulasi semata, melainkan pada tataran etika dan logika kepemimpinan dalam sistem demokrasi Indonesia. Realitas ini mengindikasikan bahwa meskipun kita hidup dalam satu entitas republik, prinsip-prinsip normatif yang seharusnya menjadi pijakan bersama—seperti akuntabilitas, transparansi, dan keadilan distributif—justru terpinggirkan oleh logika kekuasaan yang elitis dan eksklusif.

Dalam konteks ini, jabatan publik tidak lagi dimaknai sebagai amanah yang sarat tanggung jawab, melainkan menjadi komoditas simbolik—diperebutkan, dirangkap, dan dijadikan kapital sosial-politik. Praktik rangkap jabatan bukan hanya membebani efektivitas kerja dan mengaburkan fokus pelayanan publik, tetapi juga memperlihatkan bagaimana kekuasaan dikelola lebih sebagai koleksi prestise ketimbang alat pengabdian.

Ironisnya, pembenaran atas praktik ini sering kali dibalut narasi nasionalistik: “demi bangsa dan negara.” Namun narasi ini kerap berujung pada pembesaran citra individu, bukan pada peningkatan kapasitas kelembagaan atau perbaikan nasib masyarakat. Kepadatan jabatan di satu individu nyatanya tidak menjamin peningkatan kualitas kepemimpinan, melainkan memperbesar peluang konflik kepentingan dan mengurangi ruang partisipasi publik yang lebih merata.

Lebih memprihatinkan lagi, sikap kritis terhadap rangkap jabatan sering kali diposisikan sebagai sikap subversif. Mereka yang mempertanyakan dianggap tidak nasionalis, bahkan menghalangi pengabdian. Padahal dalam sistem demokrasi yang sehat, pertanyaan kritis adalah bentuk kepedulian terhadap etika publik dan mekanisme checks and balances yang esensial bagi keberlangsungan negara hukum.

Oleh karena itu, penting untuk disadari bahwa persoalan ini bukan sekadar isu administratif atau manajerial, melainkan manifestasi dari krisis etika kekuasaan. Kita tidak sedang kekurangan pemimpin dalam jumlah, tetapi sedang dikepung oleh individu-individu yang memanipulasi hasrat berkuasa sebagai bentuk pengabdian.

Jika dibiarkan, praktik ini akan melanggengkan oligarki birokratik, menutup akses regenerasi kepemimpinan, dan memperlemah institusi publik. Maka, yang dibutuhkan saat ini bukan sekadar regulasi teknis tentang larangan rangkap jabatan, tetapi pembaruan budaya politik yang menjunjung tinggi integritas, distribusi kewenangan yang adil, dan komitmen terhadap pelayanan publik yang sesungguhnya.

 

( red )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *