Lewati ke konten

Langit perfilman dan kebudayaan Indonesia mendung. Ray Sahetapy, aktor besar yang telah mewarnai dunia seni peran selama puluhan tahun, kini telah berpulang. Kepergiannya bukan hanya kehilangan bagi perfilman Indonesia, tetapi juga bagi dunia kebudayaan yang selama ini ia perjuangkan. Dalam perjalanan hidupnya, Ray bukan hanya seorang aktor yang menghidupkan karakter di layar, tetapi juga seorang pemikir, seorang pejuang kebudayaan yang percaya bahwa seni harus menjadi bagian dari identitas dan kekuatan bangsa Salah satu momen penting dalam hidupnya adalah keterlibatannya dalam Maklumat Juli 2009, sebuah pernyataan sikap dari para seniman dan budayawan yang prihatin terhadap dekadensi bangsa. Bersama dua sahabatnya, Sys NS dan Radhar Panca Dahana, Ray berdiri di garis depan, menyerukan pentingnya perubahan yang substansial di bidang kebudayaan. Mereka menilai bahwa bangsa ini tengah mengalami kemunduran karena tidak mampu memelihara harga diri, potensi, dan kekuatannya yang penuh sejarah.
Persahabatan dalam Perjuangan, Ray, Sys, dan Radhar tidak hanya dipersatukan oleh seni, tetapi juga oleh visi yang sama. Mereka percaya bahwa kebudayaan bukan sekadar hiburan, melainkan fondasi utama yang menentukan arah bangsa. Sys NS, dengan gaya komunikasinya yang khas—ceplas-ceplos dan penuh humor—sering menjadi motor penggerak gerakan ini. Radhar Panca Dahana, budayawan dengan pemikiran tajam, menegaskan bahwa kebudayaan harus menjadi arus utama dalam pembangunan nasional. Sementara Ray Sahetapy, dengan energi dan pengalamannya sebagai aktor, membawa perspektif dari dunia seni peran yang ia geluti dengan sepenuh hati.
Ketiganya sering kali bertemu dalam diskusi panjang, membahas bagaimana seni bisa lebih dihargai dan bagaimana negara seharusnya berperan dalam mengangkat kebudayaan. Dalam forum-forum budaya, mereka tidak hanya berbicara sebagai individu, tetapi sebagai bagian dari suara kolektif yang menuntut perubahan.
Malam Cinta untuk Radhar
Persahabatan mereka tak hanya tampak dalam perjuangan kebudayaan, tetapi juga dalam saat-saat sulit. Pada Jumat (5/4/2013), ketika Radhar Panca Dahana jatuh sakit, para sahabatnya mengadakan acara Malam Cinta Untuk Radhar Panca Dahana di Aula Nurcholis Madjid, Universitas Paramadina, Jakarta. Acara ini bertujuan untuk menggalang dana guna membantu meringankan biaya pengobatan Radhar.
Pada malam itu, hadir banyak seniman dan budayawan, termasuk Romo Mudji Sutrisno, Fadjroel Rachman, Slamet Rahardjo Djarot, Ray Sahetapy, dan lainnya. Dalam kesempatan tersebut, Ray Sahetapy membaca sebuah cerpen, mempersembahkan suaranya yang khas sebagai bentuk penghormatan dan dukungan untuk sahabatnya. Malam itu bukan sekadar penggalangan dana, melainkan wujud nyata dari persahabatan dan solidaritas dalam dunia seni dan budaya.
Percakapan yang Tak Berhenti Bagi Ray, seni bukan sekadar soal akting di depan kamera. Ia melihat seni sebagai alat refleksi sosial, sebagai medium untuk menggugah kesadaran masyarakat. Dalam film-filmnya, ia selalu menghadirkan karakter yang hidup, yang memiliki kedalaman psikologis, yang menyampaikan pesan lebih dari sekadar hiburan.
Kini, Ray telah berpulang, menyusul Sys NS dan Radhar Panca Dahana yang lebih dulu pergi. Namun, percakapan mereka seolah tak pernah benar-benar berhenti. Dalam salah satu puisinya yang terkenal, “Percakapan Dua Ranting”, Radhar seakan menggambarkan dialog batin yang terus bergema:
kalau pernah kamu bertemu dulu, apa yang kau inginkan nanti? sepi. kalau nanti kau dapatkan cinta, bagaimana kau tempatkan waktu? sendiri. bila hari tak lagi berani munculkan diri, dan kau tinggal untuk menanti? cari. andai bumi sembunyi saat kau berlari? mimpi. lalu malam menyer- gapmu dalam pandang tiada tepi? hati. baik…aku tak lagi memberimu mungkin? kecuali. baik..baik, aku hanya akan menya- pamu tanpa kecuali? mungkin. dan jika tetap seperti itu, embun takkan jatuh dari kalbumu? sampai. akankah kau patahkan tubuhmu hingga musim tiada berganti? mari. lalu kau tumbuhkan bunga tanpa kelopak tanpa daun berhelai-helai? kemari. juga kau benamkan yang lain dalam jurang di matamu? aku. katakan bahwa kau mene- rimamu seperti aku memberimu?… kau? ya. kau?…aku.
Puisi ini bukan sekadar permainan kata, melainkan sebuah renungan mendalam tentang eksistensi, kebersamaan, dan penerimaan. Seperti dua ranting yang berbicara dalam sunyi, Ray, Sys, dan Radhar seakan masih bercakap dalam keabadian.
Mungkin di alam sana, mereka kembali berkumpul, melanjutkan diskusi yang dulu sering mereka lakukan—tentang seni, tentang kebudayaan, tentang bagaimana bangsa ini seharusnya lebih menghargai warisan budayanya sendiri.
Tapi perjuangan mereka tidak boleh berakhir di sana. Suara mereka harus tetap bergema, diingat oleh para seniman, budayawan, dan siapa saja yang peduli pada kebudayaan Indonesia. Sebab, seperti yang mereka yakini, kebudayaan bukan hanya sekadar tontonan, tetapi cerminan jiwa bangsa. Dan tanpa kebudayaan, kita bukan siapa-siapa.
Saya telah menyusun feature ini dengan menyertakan kisah persahabatan Ray Sahetapy, Sys NS, dan Radhar Panca Dahana, serta menambahkan detail tentang Malam Cinta untuk Radhar dan puisi “Percakapan Dua Ranting”. Jika ada revisi atau tambahan yang diinginkan, silakan beri tahu!
Related Posts
Agustus 5, 2025
Agustus 4, 2025
Agustus 3, 2025