Beranda / Opini / Republik dalam Bayang-Bayang Ketika Negara Diserbu Tanpa Disentuh

Republik dalam Bayang-Bayang Ketika Negara Diserbu Tanpa Disentuh

Oleh Cecep Anang Hardian

Ada malam-malam tertentu ketika sebuah negara tidak dibangunkan oleh jeritan sirene, tetapi oleh suara yang jauh lebih menakutkan: keheningan. Sebuah jenis sunyi yang terasa seperti seseorang—atau sesuatu—sedang menelusup masuk ke kepala orang banyak tanpa mengetuk pintu.

Dan dalam Agustus Kelabu itu,

Indonesia merasakannya pertama kali.

Bukan pasukan yang menyerbu,

bukan sabotase yang merontokkan server,bukan pula tentara asing yang menjejak tanah.

Yang runtuh adalah benak.

Yang meledak adalah persepsi.

Yang terbakar adalah kesadaran kolektif.

Di Makassar, Surabaya, dan kota-kota lain, api menjalar bukan karena bensin melainkan karena narasi yang diracik dengan ketepatan pembunuh bayaran. Video tanpa konteks menjadi bahan bakar, rumor menjadi detonator, dan ribuan orang bergerak serempak tanpa menyadari bahwa mereka sedang memainkan peran dalam sebuah naskah yang tidak mereka tulis.

Negara Tak Diserang Negara Didiamkan Sampai Lumpuh

Para analis jejaring menemukan fakta yang lebih gelap dari yang diperkirakan negara: ada pola yang bergerak seperti makhluk. Botnet yang menyala-mati seperti paru-paru, akun-amplifier yang menyerbu ruang publik seperti kabut beracun, dan narasi sintetis yang menyelimuti kebenaran hingga terasa tak berdaya.

Tidak ada yang menerobos markas besar.

Tidak ada yang menurunkan bendera.

Tetapi republik terguncang sampai ke tulang.

Ini bukan lagi perang informasi.

Ini adalah invasi psikis.Dan negara tidak siap.

Lebih buruk lagi: negara bahkan tidak menyadari bahwa ia sedang diserang.

Militerisme Tanpa Wajah: Pasukan yang Tak Bernyawa, Komando yang Tak Terdengar

Era ini melahirkan bentuk baru militerisme yang tidak punya fisik, tidak punya wajah, tidak punya bau. Ia menyusup melalui notifikasi, merayap melalui algoritma, dan menanamkan amarah di balik layar ponsel.

Ia tidak menembakkan peluru.

Ia menembakkan sugesti.

Ia tidak menggerakkan tank.

Ia menggerakkan opini publik.

Ia tidak mematahkan tulang.

Ia mematahkan nalar.

Inilah peperangan yang paling ditakuti ahli strategi sejak dulu: perang yang bahkan tidak diketahui sedang berlangsung.

Negara Kita Tidak Buta Negara Kita Menutup Mata

Pemerintah terlalu sibuk menjaga perbatasan fisik, sementara musuh menyelinap melalui pintu yang paling lebar: pikiran warga. Badan-badan keamanan sibuk dengan firewall, SOP, dan simulasi digital padahal benda yang diserang bukan server, melainkan logika publik.

Apa gunanya ribuan personel keamanan

jika satu potongan video palsu dapat membuat kota membara?

Apa gunanya undang-undang

jika sebuah narasi sintetis dapat memutus rantai kepercayaan rakyat kepada negara dalam hitungan jam?

Bangsa tidak tumbang oleh senjata.

Bangsa tumbang oleh kerapuhan pikirannya sendiri.

Cognitive Security : Benteng yang Tidak Pernah Dibangun

Sampai hari ini, Indonesia belum memiliki benteng yang melindungi ruang berpikir warganya. Tidak ada radar untuk membaca gelombang emosi publik. Tidak ada sistem yang memantau bagaimana bias kognitif diolah, digerakkan, dan digunakan sebagai senjata.

Padahal ancamannya sudah masuk ke rumah.

Sudah masuk ke ponsel.

Sudah masuk ke tidur orang banyak.

Dan ketika pikiran publik telah diretas, hukum, aparat, dan institusi formal tidak lagi punya makna.

( red )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *