- Oleh : Cecep Anang Hardian
Indonesia hari ini berdiri di persimpangan sejarah yang getir. Di satu sisi, kita membanggakan sistem demokrasi yang telah berjalan sejak reformasi 1998. Di sisi lain, kita menyaksikan bagaimana demokrasi itu perlahan dikuliti dari dalam, dikendalikan oleh kekuatan kapital yang jauh lebih berkuasa dari suara rakyat itu sendiri.
Kapitalisme bukan lagi sekadar sistem ekonomi; ia telah menjelma menjadi mesin kekuasaan. Sebuah kekuatan besar yang bekerja di balik layar, membiayai pemilu, membentuk opini publik, membeli loyalitas politik, dan bahkan menentukan arah kebijakan negara. Di negeri ini, politik bukan lagi panggilan nurani, melainkan transaksi yang dibungkus narasi.
Pemilu : Ajang Jual-Beli Kekuasaan
Hari ini, siapa yang memiliki uang, maka ia punya peluang. Kandidat tanpa modal besar akan terpinggirkan, karena demokrasi kita telah berubah menjadi kompetisi logistik. Bukan kualitas gagasan yang diutamakan, tapi seberapa tebal dompet yang bisa membiayai baliho, buzzer, iklan, dan mesin partai.
Partai politik, yang semestinya menjadi ruang edukasi politik dan penjaga moral publik, justru bertransformasi menjadi perusahaan politik. Mereka menjual tiket pencalonan, mematok mahar, dan menyeleksi kader bukan berdasarkan integritas, melainkan daya tawar finansial. Tak heran jika hasilnya adalah parlemen yang lebih akrab dengan korporasi daripada dengan rakyat yang memilihnya.
Negara sebagai Korporasi, Rakyat sebagai Beban
Di balik janji pembangunan dan kemajuan, terselip kenyataan pahit: negara semakin berpihak pada kepentingan pemilik modal besar. Undang-undang disusun demi kenyamanan investor, lahan-lahan rakyat digusur demi proyek strategis nasional, dan sumber daya alam dikeruk tanpa belas kasihan. Ketimpangan dibiarkan melebar, sementara kritik dibungkam dengan dalih stabilitas.
Alih-alih menjadi pelindung rakyat, negara kini seperti manajer dari sebuah korporasi raksasa yang menjual aset publik ke tangan swasta. Listrik, air, pendidikan, hingga kesehatan semuanya dikomersialisasikan. Rakyat dipaksa membeli layanan yang semestinya menjadi hak dasar.
Ilusi Demokrasi, Realitas Oligarki
Yang kita miliki hari ini bukanlah demokrasi yang sehat, melainkan demokrasi semu yang dikendalikan oleh segelintir elite ekonomi dan politik. Oligarki bekerja dalam senyap, namun dampaknya terasa nyata. Mereka ada di balik layar, tapi kendalinya mencengkeram semua lini.
Pers yang seharusnya menjadi kekuatan keempat dalam demokrasi pun tak luput dari kooptasi. Banyak media besar telah berpihak, menjadi corong kepentingan pemilik modal, menyajikan realitas yang dimanipulasi. Rakyat dicekoki ilusi kesejahteraan, dibuai dengan pencitraan, dan diarahkan untuk melupakan luka-luka struktural yang tak kunjung sembuh.
Harapan: Masih Adakah Ruang Perlawanan?
Di tengah suramnya keadaan, pertanyaan besar muncul: masih adakah ruang bagi rakyat untuk merebut kembali kendali atas negeri ini? Jawabannya: masih ada, tapi tak mudah. Kesadaran kolektif adalah titik awalnya. Politik tak boleh diserahkan bulat-bulat kepada elite. Rakyat harus kembali menjadi subjek, bukan sekadar objek yang dimobilisasi.
Gerakan rakyat, media alternatif, organisasi masyarakat sipil, dan pendidikan politik berbasis akar rumput menjadi kunci untuk melawan dominasi kapital dalam politik. Demokrasi harus dipulihkan bukan hanya lewat sistem, tapi lewat keberanian untuk bersuara, berorganisasi, dan melawan.
Karena jika tidak, kita akan terus hidup dalam republik yang disandera di mana suara rakyat hanya jadi latar belakang dari panggung kekuasaan yang dimainkan oleh para pemilik modal.
Dan pada akhirnya, sejarah hanya akan mencatat dua hal: mereka yang berjuang, dan mereka yang diam.
( Tim/Red )