Oleh : Cecep Anang Hardian
Di tengah gelombang teknologi yang tak henti menghantam tepian kesadaran kita, suara digambarkan sebagai entitas yang kembali merebut tahtanya. Ia dipuja, diangkat sebagai ruh purba yang menjelma ke dalam bentuk-bentuk baru: podcast, buku audio, narasi interaktif. Narasi ini terdengar indah, nyaris puitis. Namun pertanyaannya: apakah benar suara bangkit, atau hanya direkayasa ulang sebagai komoditas baru di pasar perhatian yang rakus?
Suara bukan sekadar bangkit; ia *dikemas ulang*, diberi kulit baru agar laku dijual. Romantisasi terhadap podcast dan buku audio sebagai “penjaga ingatan purba” terdengar menggugah, tetapi terlalu memuja. Faktanya, konten suara kini lebih sering menjadi ajang monolog narsistik, ruang pemasaran terselubung, atau sekadar pengisi waktu hampa dalam lalu lintas kemacetan kota. Alih-alih menjadi “hikayat di sela denting angin malam”, yang kita dengar adalah suara yang dipotong algoritma, diedit demi engagement, dan dipoles demi branding.
Ketika suara, teks, dan visual disebut “menari bersama dalam satu panggung”, muncul pertanyaan lain: siapa sutradara dari tarian ini? Kreator? Konsumen? Atau platform teknologi yang secara diam-diam mengarahkan koreografi atas dasar data dan klik? Simfoni yang disebut sebagai “lebih dalam dari laut, lebih tinggi dari awan” itu terdengar megah, namun jangan lupa: ia juga bisa menjadi *kabut ilusi* yang menutupi realitas banal dari industri konten—bahwa yang utama bukan lagi makna, tapi monetisasi.
Lebih jauh, gagasan bahwa kini “kita membaca dengan hati, mendengar dengan rasa” terasa sentimental, bahkan naïf. Kita hidup di zaman percepatan, di mana konten didengarkan dengan kecepatan 1.5x, dibaca sambil multitasking, dan dikonsumsi demi produktivitas, bukan perenungan. Apa yang dulu menjadi ruang mendalam kini menjadi permukaan yang cepat dilalui. Narasi suara bukan lagi alat kontemplasi, tapi instrumen pengganti keheningan yang kini dianggap membosankan.
Kebangkitan narasi suara sebagai “revolusi sunyi” pun patut dipertanyakan. Sunyi macam apa yang kita bicarakan ketika ribuan suara berlomba menembus gawai kita setiap detik? Ini bukan revolusi sunyi, ini *kegaduhan yang disamarkan*. Di balik narasi yang terdengar menyejukkan, tersembunyi industri raksasa yang mengatur siapa yang terdengar dan siapa yang dibungkam.
Narasi suara memang punya potensi menyentuh—jika disampaikan dengan jujur, jika tidak tunduk pada algoritma, jika tak melulu tunduk pada pasar. Tapi selama kita membiarkan industri mengatur volume dan isi dari suara itu, maka kebangkitan ini bukanlah kebangkitan makna, melainkan hanya *resonansi palsu* dari mikrofon-mikrofon yang disewakan.
( Red )