Beranda / Opini / Takut Kritik di Tangerang Selatan, Ketika UU Pers Diabaikan Demi Pencitraan

Takut Kritik di Tangerang Selatan, Ketika UU Pers Diabaikan Demi Pencitraan

Oleh: Cecep Anang Hardian

Di Tangerang Selatan, kritik masih kerap diperlakukan sebagai ancaman. Berita negatif dianggap merusak citra, bukan sebagai alarm dini perbaikan. Jurnalis yang mengungkap persoalan kinerja Organisasi Perangkat Daerah (OPD) sering dicurigai, dijauhkan, bahkan distigmatisasi. Ini bukan sekadar persoalan komunikasi publik, melainkan persoalan kepatuhan terhadap prinsip demokrasi dan hukum.

Padahal, kebebasan pers dijamin secara tegas oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 4 ayat (1) menegaskan bahwa kemerdekaan pers adalah hak asasi warga negara. Ayat (2) dan (3) menutup ruang bagi segala bentuk pembredelan, pelarangan, dan penyensoran. Artinya, sikap alergi terhadap kritik terlebih disertai tekanan bukan hanya tidak dewasa, tetapi juga bertentangan dengan hukum.

Pembangunan di Tangerang Selatan terus dielu-elukan, capaian dipamerkan, namun ruang kritik justru dipersempit. Seolah-olah keberhasilan wajib diberitakan, sementara kegagalan harus disembunyikan. Padahal, pembangunan yang sehat tidak lahir dari puja-puji, melainkan dari koreksi yang jujur. Ketika birokrasi lebih sibuk menjaga citra ketimbang memperbaiki kinerja, maka yang dipertahankan bukan kepentingan publik, melainkan kenyamanan kekuasaan.

Pers tidak pernah diberi mandat untuk menjadi corong pemerintah. Pasal 6 UU Pers dengan jelas menyebutkan fungsi pers: melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Maka saat berita negatif muncul, pertanyaan yang seharusnya dijawab adalah apa yang salah dan apa langkah perbaikannya? Bukan justru menyerang pembawa berita.

Banyak kritik lahir dari pengalaman konkret masyarakat: pelayanan publik yang lamban, kebijakan yang tidak responsif, hingga proyek-proyek yang minim transparansi. Fakta-fakta ini hidup di lapangan, bukan di ruang rapat. Menyangkalnya tidak akan menghapus masalah, hanya menumpuknya hingga menjadi krisis kepercayaan publik.

Lebih berbahaya lagi ketika kritik dibalas dengan intimidasi halus, pembatasan akses informasi, atau pelabelan negatif terhadap wartawan. Perlu diingat, Pasal 18 ayat (1) UU Pers menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menghambat atau menghalangi kerja pers dapat dipidana. Hukum berdiri jelas di sisi kebebasan pers, bukan pada mereka yang anti-kritik.

Perlu ditegaskan: berita negatif bukan hoaks selama berbasis fakta. Ia bukan fitnah selama diuji secara jurnalistik. Justru yang patut dicurigai adalah upaya membungkam kritik demi menjaga citra semu. Sejarah berulang kali membuktikan, banyak daerah runtuh bukan karena kritik, melainkan karena kritik diabaikan.

Tangerang Selatan tidak akan benar-benar maju jika kritik terus dianggap musuh. OPD tidak akan profesional jika alergi evaluasi. Pemerintahan yang kuat adalah pemerintahan yang siap diawasi, dan pemerintahan yang bersih adalah pemerintahan yang berani dikritik.

Sudah waktunya Pemerintah Kota Tangerang Selatan berhenti defensif. Baca kritik dengan kepala dingin, jawab dengan data dan kerja nyata bukan dengan ketersinggungan. Karena kritik pers adalah bentuk kepedulian, dan UU Pers adalah pagar hukum yang wajib dihormati.

Membungkam kritik melanggar etika.
Menghalangi pers melanggar hukum.
Dan pembangunan yang takut dikritik sedang berjalan menjauh dari kepentingan rakyat.

( red )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *