JAKARTA – Indonesia, sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar, menghadapi dilema pelik dalam menyikapi isu genosida terhadap etnis Uyghur di Xinjiang. Dalam webinar internasional bertajuk “Uyghur Genocide Day: Examining Opportunities and Obstacles,” yang diselenggarakan oleh HUPI, GHARIS, dan ISU, para pakar menyimpulkan bahwa posisi strategis Indonesia terbentur realitas ketergantungan ekonomi masif pada Tiongkok.
Diskusi yang digelar untuk memperingati pengakuan genosida Uyghur oleh Uyghur Tribunal pada 9 Desember 2021 tersebut, menyoroti jurang lebar antara tuntutan moral konstitusi dan kepentingan geopolitik.
Bukti Genosida dan Pembersihan Identitas
Dr. Omer Kanat, Direktur Eksekutif Uyghur Human Rights Project (UHRP) dan keynote speaker, menegaskan bahwa situasi di Turkistan Timur (Xinjiang) adalah upaya sistematis penghapusan identitas etnis, bukan sekadar isu politik.
“Fakta di lapangan mengerikan: Al-Qur’an disita, masjid bersejarah dihancurkan atau dijadikan tempat hiburan, dan anak-anak dipisahkan secara paksa. Bahkan berdoa di rumah pun tidak diperbolehkan,” ujar Dr. Kanat.
Ia juga dengan keras membantah narasi normalisasi yang disebarkan Tiongkok melalui video propaganda yang menampilkan kehidupan damai. Dr. Kanat menyebut rekaman orang sholat atau menari adalah pertunjukan yang direkayasa (staged) untuk menutupi praktik nyata seperti indoktrinasi di kamp dan sterilisasi paksa terhadap wanita Uyghur yang terus berlanjut.
Ketergantungan Ekonomi Hambat Solidaritas
Policy Researcher Erika Maya memaparkan analisis tajam mengenai sikap “Diplomasi Lunak” (Soft Diplomacy) yang dipilih Jakarta. Menurutnya, keputusan ini adalah hasil tarik ulur antara idealisme dan pragmatisme.
“Tiongkok adalah mitra dagang terbesar Indonesia, dengan volume mencapai USD 150 miliar. Risiko hilangnya investasi atau gangguan perdagangan sangat besar jika Indonesia mengambil sikap konfrontatif,” jelas Erika.
Ketergantungan ekonomi inilah yang membuat Indonesia memilih dialog tertutup, berbeda dengan negara Barat yang tidak memiliki keterikatan ekonomi seberat itu. Erika lantas merekomendasikan Smart Diplomacy: menggabungkan tekanan terukur melalui forum OKI dan ASEAN dengan diversifikasi ekonomi, agar Indonesia tidak rentan didikte oleh satu negara saja.
Perang Narasi dan Sensor AI
Direktur HUPI Hotmar Simanjuntak menambahkan bahwa advokasi di Indonesia menghadapi tantangan besar karena isu Uyghur sering dianggap hoaks atau tenggelam oleh isu domestik.
Menyambung hal ini, Arafat ST, pemerhati kebijakan dan teknologi, menunjukkan adanya sensor aktif dalam perang narasi digital. Ia membandingkan hasil pencarian “Genosida Uyghur” antara AI global (Gemini/Google) yang menyajikan bukti pelanggaran HAM, dengan AI buatan Tiongkok (DeepSeek) yang memblokir akses informasi sensitif tersebut.
Ketua GHARIS Jakarta, Rafi Amar, menekankan bahwa di tengah kebuntuan diplomatik, kekuatan sipil dan pemuda menjadi krusial. “Kejahatan yang terstruktur akan mengalahkan kebaikan yang tidak terstruktur,” ujarnya, mendorong pemuda memanfaatkan aktivisme digital untuk melawan propaganda dan membangun kesadaran global.
Webinar tersebut diakhiri dengan seruan untuk terus menyuarakan keadilan Uyghur dan menggalang bantuan kemanusiaan, menegaskan bahwa dukungan masyarakat sipil tetap menjadi kunci utama.
Tagar untuk Berita Ini
#SaveUyghur #UyghurGenocide #HumanRights #SoftDiplomacy #SmartDiplomacy #IndonesiaUyghur #DiplomasiHAM #SolidaritasUyghur #HUPI #GHARIS
( red )












