Oleh : Cecep Anang Hardian
Di negeri agraris yang katanya “makmur”, petani bekerja siang malam menanam harapan di atas tanahnya sendiri. Tapi harapan itu selalu layu sebelum panen. Bukan karena hujan tak turun, tapi karena ada tikus—tikus berdasi, yang suka mengaku wakil rakyat, padahal kerjaannya cuma mencuri.
Tikus-tikus ini bukan sembarang tikus. Mereka datang dari kota, berdiri di atas panggung politik, bawa slogan dan janji yang manis. Tapi begitu kursi kekuasaan mereka duduki, yang pertama mereka cari bukan solusi buat rakyat—tapi lubang-lubang untuk menggerek anggaran.
Sawah-sawah rakyat—anggaran pendidikan, subsidi pupuk, bantuan petani kecil—digerogoti pelan-pelan. Mereka tak pernah benar-benar datang untuk menanam, hanya datang saat panen, ikut foto, lalu pulang bawa karung yang lebih penuh dari petani itu sendiri.
Ironisnya, para tikus ini pandai menyamar. Mereka menyebut dirinya “pejuang rakyat”, “anak desa”, bahkan kadang “korban sistem”. Padahal merekalah sistem itu sendiri—sistem yang menindas dari dalam sambil pura-pura memeluk dari luar.
Dan yang lebih menyakitkan? Kadang rakyat sendiri yang memilih mereka. Karena tikus-tikus ini tahu cara bicara. Mereka datang bawa beras sekarung menjelang pemilu, janji bantuan, atau sekadar baju baru. Lalu rakyat, yang lapar dan lelah, terpaksa memilih karena tak ada pilihan lain.
Kini, para petani mulai sadar. Bahwa yang merusak sawah bukan hama dari luar, tapi tikus yang dibiarkan masuk sendiri. Mereka mulai menoleh ke kanan-kiri, cari siapa yang benar-benar berkotor tangan di lumpur, bukan yang cuma kotor saat kampanye.
Pertarungan ini belum usai. Tikus-tikus masih banyak, bahkan makin pintar bikin celah hukum, bangun dinasti, atau tukar seragam partai tiap musim.
Tapi kalau petani—rakyat—sudah benar-benar marah, bukan hanya cangkul yang mereka bawa. Mereka bawa suara. Dan di negeri demokrasi, suara itu bisa jadi racun paling mematikan buat tikus-tikus serakah.
( Red )