Oleh: [ Cecep Anang Hardian ]
Dalam perjalanan sejarah negeri ini, kita kerap menyaksikan pemimpin datang dan pergi, membawa jargon baru, visi besar, dan janji yang terdengar manis. Namun dalam banyak kasus, janji tinggal janji, dan realitas tetap dipenuhi oleh ketimpangan, korupsi, serta pengkhianatan terhadap harapan rakyat. Di sinilah kita menyadari: banyak dari mereka memimpin bukan dengan wajah asli, melainkan dengan topeng putih citra kesucian yang menutupi kepalsuan.
Kepemimpinan yang Diselimuti Ilusi
Pemimpin, dalam pandangan ideal, adalah sosok panutan yang mengutamakan kepentingan rakyat di atas segalanya. Namun dalam praktik politik kita, sering kali yang naik ke tampuk kekuasaan adalah mereka yang pandai membungkus ambisi dengan simbol-simbol moralitas, Mereka tampil sederhana, merakyat, religius, bahkan “dekat dengan rakyat kecil”. Tapi setelah terpilih, yang tampak justru dinding kekuasaan yang semakin tebal dan suara rakyat yang makin tak terdengar.
Topeng putih itu hadir dalam bentuk gaya hidup sederhana yang dikonstruksi, shalat berjamaah yang diliput media, atau simbol-simbol budaya yang digunakan secara strategis untuk mencuri simpati. Tapi publik makin jeli. Karena setelah kamera mati,
apa yang terjadi di ruang-ruang tertutup sering kali bertolak belakang dengan citra yang dibangun di ruang publik.
Simulakra Kekuasaan
Sosiolog Prancis, Jean Baudrillard, menyebut era ini sebagai zaman,
“simulakra” di mana simbol menggantikan kenyataan. Dalam konteks ini, pejabat publik tak perlu benar-benar bersih, cukup terlihat bersih Tak perlu hadir untuk rakyat, cukup mem-posting kegiatan sosial di media. Tak perlu bekerja serius, cukup sibuk membuat narasi sukses melalui buzzer dan influencer.
Padahal negeri ini tidak butuh citra, melainkan kerja nyata. Tidak butuh pidato emosional, melainkan keberanian untuk membuat keputusan yang berpihak pada keadilan. Tidak butuh pemimpin yang sempurna, tetapi pemimpin yang jujur dan bertanggung jawab,
Rakyat yang Terbiasa Dibohongi
Sayangnya, rakyat pun sudah terlalu sering disuguhi topeng-topeng ini hingga menjadi terbiasa. Ketika seorang pejabat tertangkap korupsi, kita tak lagi terkejut. Ketika janji tak dipenuhi, kita tak lagi marah. Inilah bentuk kelelahan kolektif akibat terlalu lama hidup dalam kepalsuan. Ironisnya, dalam kelelahan itu, banyak rakyat justru memilih kembali mereka yang telah mengecewakan, karena merasa tak ada pilihan lain.
Kondisi ini bukan hanya menunjukkan kelemahan sistem demokrasi kita, tapi juga lemahnya kesadaran kritis dalam memilih pemimpin. Kita terlalu mudah terpesona oleh gaya, bukan substansi. Terlalu mudah terhipnotis oleh retorika, bukan rekam jejak.
Mengakhiri Era Topeng Sudah waktunya, kita tidak lagi mentolerir topeng-topeng putih yang dikenakan oleh para pejabat dan pemimpin negeri. Kita berhak atas pemimpin yang jujur, bukan yang sekadar terlihat baik. Kita berhak atas pejabat yang melayani, bukan yang mencitrakan diri sebagai pelayan.
Mengakhiri budaya topeng ini bukan hanya tugas media atau aktivis, tetapi tugas seluruh warga negara. Kita semua harus belajar membaca wajah di balik topeng, menguji kata dengan fakta, dan menuntut transparansi sebagai norma, bukan sekadar janji.
Karena negeri ini terlalu kaya untuk dikuasai oleh yang pura-pura. Dan terlalu berharga untuk dipimpin oleh kepalsuan.
( Red )