Oleh : Cecep Anang Hardian
Dalam lanskap puisi Indonesia modern, ISA (1943) karya Chairil Anwar menempati ruang yang sunyi sekaligus menyala. Ia bukan puisi yang banyak dikutip dalam wacana nasionalisme Chairil, juga tidak sering dibaca dalam konteks religiositas. Namun justru karena itulah ia penting: ISA adalah meditasi paling jasmani dan paling manusiawi yang pernah ditulis Chairil tentang tubuh, luka, dan penderitaan yang tak selesai.
Dibuka dengan repetisi yang menggetarkan:
Itoeh Tooboeh
mengoetjoer darah
mengoetjoer darah
Kata tooboeh (tubuh) dan darah menjadi jangkar utama puisi. Tidak disebutkan langsung tokoh Isa sebagai figur ilahi. Yang dihadirkan adalah tubuh—sebuah entitas yang konkret, remuk, berdarah. Chairil tidak berpuisi tentang penyaliban dalam arti religius, tetapi menyodorkan pengalaman tubuh yang dilukai sebagai pengalaman universal manusia. Repetisi memperkuat kekerasan yang tak selesai: tubuh ini terus-menerus berdarah.
Kesan kekerasan semakin dipertegas dalam dua kata pendek:
roeboeh
patah
Dua kata itu berdiri sendiri seperti patahan tulang yang berserak. Keheningan di antara baris menjadi ruang kontemplatif. Chairil sedang menata kehancuran dengan irama, membiarkan jeda menjadi bagian dari kesakitan itu sendiri. Tak ada metafora muluk atau retorika. Hanya luka yang telanjang.
Namun luka itu bukan tanpa refleksi. Muncul pertanyaan yang mendadak dan tajam:
mendampar tanja: akoe salah?
Siapa yang bersalah dalam penderitaan ini? Isa? Dunia? Ataukah sang penyaksi, penyair itu sendiri? Pertanyaan ini melampaui narasi religius dan menyentuh eksistensi manusia yang gelisah di hadapan penderitaan yang tak adil. Pertanyaan ini menggemakan satu gugatan moral yang lebih besar: dalam sejarah yang memaku tubuh-tubuh ke tiang kekuasaan, siapakah yang diam dan menyaksikan?
Baris selanjutnya menandai transformasi:
terbajang terang dimata masa
bertoekar roepa ini segara
Luka menjadi terang. Tubuh menjadi cahaya. Tapi terang itu bukan hasil penyucian atau keselamatan rohani. Ia lahir justru dari keterbukaan pada rasa sakit. Chairil tidak menawarkan transendensi dalam pengertian religius. Ia menawarkan kesadaran—bahwa terang muncul dari keberanian menatap luka.
Yang menggetarkan adalah penutup puisi:
akoe bersoeka
itoe Tooboeh
mengoetjoer darah
mengoetjoer darah
“Akoe bersoeka”—sebuah deklarasi yang ambigu. Sukacita macam apa yang lahir dari tubuh yang terus berdarah? Apakah ini sukacita iman? Atau justru ekspresi getir dari seseorang yang akhirnya mampu berkata jujur? Puisi tidak menjawab. Chairil membiarkan ketegangan itu menggantung, dan dari sana, pembaca dipaksa untuk menafsir sendiri luka yang tak dibereskan.
ISA adalah puisi yang membebaskan tokoh Isa dari simbolisme agama dan mengembalikannya ke bentuk paling purba: tubuh yang berdarah. Dalam konteks Indonesia 1943, tubuh itu bisa siapa saja: Isa, manusia kolonial, korban perang, atau bahkan Chairil sendiri. Puisi ini adalah elegi bagi luka yang tidak selesai, dan juga kritik senyap terhadap dunia yang terus melukai.
Chairil Anwar, dalam kesunyian yang berdarah ini, menunjukkan bahwa tubuh manusia bisa menjadi teks paling jujur yang pernah kita baca.
( Red )