Home / Sosial / Demokrasi yang Nyaris Dihapus Sejarah

Demokrasi yang Nyaris Dihapus Sejarah

Oleh : Redaksi

Kepemimpinannya memang singkat, tak sampai dua tahun. Namun, dalam kurun waktu itu, Gus Dur menanamkan benih yang tak semua orang berani tanam: demokrasi yang sebenar-benarnya. Bukan sekadar kata-kata dalam pidato, bukan sekadar aksara dalam undang-undang. Ia menegaskan bahwa negeri ini adalah milik rakyat, bukan milik mereka yang bersenjata.

Demokrasi adalah perahu yang berlayar di atas samudra rakyat. Jika kemudinya dikuasai tentara, maka arah laju tak lagi ditentukan oleh angin harapan, melainkan oleh kompas kekuasaan. Militer, dalam demokrasi yang sehat, bukan nakhoda yang boleh menentukan arah, bukan pula pemilik peta yang mengatur perjalanan bangsa. Ia adalah ombak yang menjaga batas lautan, bukan badai yang menenggelamkan kapal.

Namun, di negeri ini, tentara pernah memiliki dua wajah. Satu di medan perang, satu di meja perundingan. Ia tidak hanya berdiri tegak di pos perbatasan, tapi juga di mimbar politik, berbicara atas nama rakyat yang tak pernah memilihnya. Peran ganda itu—dwifungsi—menciptakan bayangan panjang, memburamkan garis antara penjaga dan penguasa. Jika tentara mengatur negara, siapa yang bisa mengatur tentara?

Gus Dur datang dengan tangan hampa, tanpa bayonet, tanpa batalion. Hanya keberanian sebagai perisai, hanya keyakinan sebagai pedang. Ia menyapu jejak militer dari parlemen, mengembalikan ruang demokrasi pada mereka yang seharusnya memilikinya: rakyat. Ia merotasi panglima TNI, membuka jalan bagi angkatan lain, agar kuasa tak hanya mengalir ke satu sungai yang sama. Ia mengangkat Menteri Pertahanan dari sipil, memastikan bahwa kebijakan pertahanan tidak diputuskan oleh tangan yang terbiasa menarik pelatuk, melainkan oleh mereka yang memahami betapa berharganya damai.

Gus Dur mengembalikan tentara ke tugasnya: menjaga batas negeri, bukan batas suara. Sebab jika tentara mengurus politik, demokrasi hanya menjadi teater bayangan, di mana rakyat bertepuk tangan tanpa pernah benar-benar ikut bermain. Demokrasi yang bergaung di podium, tapi sunyi di jalanan. Demokrasi yang berbicara tentang rakyat, tapi memenjarakan mereka yang berani berbicara. Demokrasi yang mengenakan jas, tapi di baliknya menyembunyikan seragam loreng.

Militer yang dibiarkan berpolitik adalah api yang dibiarkan menjilat atap rumah. Ia mungkin memberi hangat, tapi pada akhirnya akan melahap segalanya. Jika senjata diberi hak untuk menentukan nasib bangsa, maka yang lahir bukanlah keadilan, melainkan ketakutan.

Hari ini, mungkin banyak yang lupa. Bahwa pernah ada masa ketika demokrasi nyaris tak punya masa depan. Ketika yang berbicara harus siap dibungkam, dan yang berkuasa tak perlu dipilih.

Namun, di tengah gelap, ada seseorang yang menyalakan lilin, meski ia tahu angin besar akan segera datang untuk memadamkannya.

Namanya Gus Dur.
Dan sejarah berutang padanya. 2/04/2025

( C2P/EDIE )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *