Home / Uncategorized / Bayang-Bayang Surat Keterangan: Kebebasan Pers di Ujung Tanduk?

Bayang-Bayang Surat Keterangan: Kebebasan Pers di Ujung Tanduk?

Di sebuah kafe di sudut Jakarta, seorang jurnalis asing duduk dengan secangkir kopi yang tak tersentuh. Pikirannya kalut. Selembar dokumen di hadapannyabukan naskah berita, bukan catatan investigasi—melainkan sebuah prosedur administratif yang kini menghantui tugasnya di Indonesia: Surat Keterangan Kepolisian (SKK).

Ketika Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 3 Tahun 2025 muncul ke permukaan, dunia jurnalistik gempar. Dalam Pasal 5 Ayat (1) b, disebutkan bahwa orang asing yang melakukan kegiatan jurnalistik di lokasi tertentu harus memiliki SKK. Desas-desus berkembang: apakah ini tirai baru yang perlahan menutupi kebebasan pers?

Dalih Perlindungan atau Alat Pembatasan?

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo segera merespons kegaduhan ini. Ia membantah tudingan bahwa SKK adalah kewajiban mutlak bagi jurnalis asing. “Surat ini hanya diterbitkan berdasarkan permintaan penjamin. Jika tidak ada permintaan, maka SKK tidak dapat diterbitkan,” katanya. Sebuah pernyataan yang terdengar menenangkan, tetapi apakah cukup?

Dalam sejarah regulasi kebebasan pers di Indonesia, kita telah berkali-kali menyaksikan bagaimana aturan administratif digunakan sebagai tameng pembatasan. Apa jaminannya bahwa di lapangan, aturan ini tidak berubah menjadi alat kontrol? Bukankah selama ini sudah ada mekanisme visa jurnalistik dan koordinasi dengan Kementerian Luar Negeri? Lalu, mengapa kini kepolisian masuk ke dalam ranah ini?

Kritik dari Lembaga Bantuan Hukum Pers

Sementara itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Pers Mustafa Layong mengkritik soal permintaan surat keterangan kepolisian terhadap orang asing yang melakukan kegiatan jurnalistik dan penelitian pada lokasi tertentu. Menurut dia, pengawasan terhadap orang asing merupakan tugas yang semestinya diemban oleh Imigrasi.

“Ini merupakan bentuk abuse dari tugas dan fungsi kepolisian,” kata Mustafa kepada Tempo, Rabu, 2 April 2025. “Frasa lokasi tertentu ini bisa saja diartikan untuk melindungi lokasi proyek strategis nasional (PSN) atau lokasi yang dianggap penting oleh pemerintah.”

Mustafa menyebut, Indonesia sebagai negara demokrasi harus menerapkan prinsip HAM universal. Prinsip ini semisal menjaga dan menjunjung tinggi kemerdekaan pers kepada setiap insan, termasuk mereka jurnalis asing. Mustafa curiga kalau aturan ini dibuat untuk membatasi ruang dan gerak jurnalistik.

Kengerian Sunyi di Lapangan

Jurnalis yang bekerja di daerah-daerah rawan, seperti Papua atau wilayah konflik lainnya, tahu betul bahwa ancaman tidak hanya datang dari medan tugas, tetapi juga dari administrasi yang dapat menjegal langkah mereka. Seorang jurnalis asing yang tak mau disebutkan namanya mengisahkan pengalamannya di Papua: “Kami selalu diawasi. Pergerakan kami dibatasi. Kini dengan aturan ini, bisa jadi lebih sulit lagi. Apakah ini perlindungan, atau pengendalian?”

Jika mekanisme ini diterapkan dengan samar, ada ketakutan yang nyata bahwa jurnalis akan berpikir dua kali sebelum meliput isu-isu sensitif. Otosensor bisa menjadi lebih kuat dari sensor itu sendiri. Bila sebelumnya tantangan utama jurnalis adalah mencari fakta, kini mereka harus menghadapi tembok birokrasi yang bisa menjegal bahkan sebelum pena mereka menyentuh kertas.

Dampak Lebih Luas: Apa Selanjutnya?

Aturan ini bisa menjadi preseden. Jika SKK dianggap lumrah untuk jurnalis asing, apakah nanti akan ada regulasi serupa bagi jurnalis lokal? Sejarah menunjukkan bahwa langkah-langkah administratif yang tampak kecil sering kali menjadi celah bagi kontrol yang lebih besar.

Di era informasi, di mana kebenaran seharusnya bebas mengalir, akankah kita melihat kebebasan pers di Indonesia perlahan dikungkung oleh regulasi yang kabur? Di hadapan Perpol 3/2025, kita dihadapkan pada pertanyaan mendasar: apakah ini langkah maju untuk perlindungan, atau mundur menuju keterbatasan?

Satu hal yang pasti, kebebasan pers tidak mati dalam satu gebrakan. Ia tergerus perlahan, satu aturan, satu syarat administratif, satu penghalang tak kasatmata dalam perjalanan mencari kebenaran.  4/04/2025

( die )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *