Tarif impor dari Amerika naik.Trump memukul meja perdagangan dunia, dan riaknya sampai ke ruang-ruang perawatan rumah sakit kita,Pasar global gemetar, bukan hanya di mesin pabrik, tapi juga di meja operasi, di kotak obat, di laci laboratorium.
Vietnam tak mau diam, segera kirim utusan ke Washington. Singapura, dengan wajah serius dan komunikasi jernih, memastikan warganya tahu apa yang sedang terjadi. “Kami siap menjaga rantai pasok medis,” kata mereka. Malaysia? Tak ketinggalan, PM-nya bicara langsung ke rakyat, memetakan risiko, menenangkan yang cemas.
Sementara kita,
bangsa besar ini,
lebih sibuk memoles kalimat motivasi ketimbang memetakan langkah mitigasi.
Di tengah lonjakan tarif yang diperkirakan mencapai 100% untuk beberapa produk manufaktur Tiongkok (yang ironisnya menjadi sumber bahan baku farmasi kita), tidak ada penjelasan apakah stok bahan baku obat sudah aman. Padahal, lebih dari 90% bahan baku obat di Indonesia masih impor, dan mayoritasnya berasal dari Tiongkok dan India.
Jika harga bahan baku melonjak, akan melonjak pula harga produksi dalam negeri. Kalau produsen menjerit, rakyat tinggal dapat kabar: “Sabar, kita ini bangsa besar.”
Laporan Kementerian Kesehatan 2024 mencatat, dari 10 rumah sakit pemerintah besar, 7 di antaranya mengalami keterlambatan pasokan alat kesehatan dalam setahun terakhir. Penyebabnya? Gangguan impor dan fluktuasi harga.
Namun bukannya negara menyiapkan rencana darurat, kita malah dibiarkan larut dalam retorika kedaulatan yang dikumandangkan seperti doa pengantar tidur.
Pasien yang membutuhkan alat pacu jantung atau insulin, tidak bisa membayar dengan semangat nasionalisme.
Tabung oksigen tidak akan terisi hanya dengan pidato di podium.
Ventilator tidak berfungsi dengan modal akronim seperti MBG atau Danantara.
Sementara itu, sektor ketenagakerjaan juga mulai sesak napas. Kementerian Ketenagakerjaan sendiri mencatat, 18 ribu pekerja telah terkena PHK dalam dua bulan pertama 2025 saja, sebelum dampak tarif Trump ini benar-benar terasa penuh.
Bila sektor farmasi dan alat kesehatan terguncang, maka ancaman PHK gelombang kedua hanya soal waktu.
Dan yang lebih getir, bahkan tanpa tarif Trump pun, rasio tempat tidur rumah sakit kita masih jauh di bawah standar WHO: hanya sekitar 1,2 tempat tidur per 1.000 penduduk, sementara WHO merekomendasikan minimal 3 per 1.000 penduduk. Jika tarif tinggi ini memperlambat pembangunan fasilitas baru, bersiaplah melihat antrean yang semakin panjang di IGD.
Di negara lain, pemerintah berdiri di garis depan untuk melindungi rakyat dari gelombang ekonomi global. Di sini, kita malah sibuk memamerkan otot yang tidak pernah ada. Membentangkan slogan seolah spanduk keselamatan, padahal hanya untuk menutupi celah-celah kepanikan.
Akhirnya, rakyat akan belajar satu hal pahit:
bahwa dalam negeri yang gemar memelihara ilusi ini, yang benar-benar harus kita siapkan bukan sekadar asuransi kesehatan,
tetapi asuransi terhadap kealpaan negara.
Mungkin kelak, ketika harga alat kesehatan meroket dan obat-obatan menghilang dari rak apotek, mereka akan kembali pidato:
“Tenang saja, kita ini bangsa besar. Kalau tidak bisa sembuh, ya minimal bangga.”