Home / Nasional / Dipaksa Sehat di Negeri yang Sakit: Krisis Kesehatan, Politik, dan Pendidikan yang Terabaikan

Dipaksa Sehat di Negeri yang Sakit: Krisis Kesehatan, Politik, dan Pendidikan yang Terabaikan

Oleh : Cecep Anang Hardian

Dipaksa Sehat di Negeri yang Sakit: Krisis Kesehatan, Politik, dan Pendidikan yang Terabaikan”kebijakan Pemerintah yang Fokus pada Kampanye Sehat Tanpa Menyentuh Akar Masalah Sosial dan Ekonomi yang Semakin Memperburuk Ketidakadilan.

Di tengah upaya pemerintah untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya gaya hidup sehat, kenyataannya banyak dari mereka yang terpaksa hidup di negeri yang tidak hanya sakit dalam hal kesehatan, tetapi juga dalam aspek politik dan pendidikan. Negara ini seolah-olah “memaksa” warganya untuk sehat, namun mengabaikan fakta bahwa sistem kesehatan, politik, dan pendidikan yang ada semakin memperburuk kondisi sosial-ekonomi dan menghambat akses masyarakat terhadap layanan yang layak. Masyarakat dipaksa untuk sehat di tengah negara yang “sakit” – sebuah ironi yang tidak bisa diabaikan.

Sakitnya negeri ini tidak hanya dapat dilihat dari angka-angka terkait kesehatan, tetapi juga dalam tatanan politik yang penuh dengan ketidakadilan. Kebijakan-kebijakan yang seharusnya mendukung kesejahteraan rakyat malah sering kali lebih mengutamakan kepentingan politik dan ekonomi segelintir orang. Bukannya memperbaiki infrastruktur kesehatan yang sudah rapuh, pemerintah lebih sibuk dengan program-program yang terlihat ideal namun tidak menyentuh akar masalah yang ada. Layanan kesehatan yang tidak merata, minimnya fasilitas, dan tingginya biaya berobat adalah kenyataan pahit yang harus diterima oleh mayoritas rakyat. 

Lebih dari itu, sektor pendidikan pun turut menjadi “sakit” dalam negeri ini. Pendidikan yang seharusnya menjadi sarana untuk memberdayakan masyarakat justru kini lebih banyak dikapitalisasi. Pendidikan yang seharusnya menjadi hak dasar setiap warga negara kini lebih cenderung menjadi komoditas yang dapat dijual. Kampus-kampus swasta dengan biaya yang tidak terjangkau oleh sebagian besar rakyat, dan kualitas pendidikan yang semakin timpang antara daerah kaya dan miskin, membuat masyarakat semakin sulit untuk keluar dari kemiskinan. Bagaimana mungkin sebuah bangsa dapat sehat jika sistem pendidikannya gagal memberikan dasar yang kuat untuk berkembang?

Pemerintah tampaknya lebih fokus pada program-program jangka pendek yang hanya sekadar menyentuh permukaan masalah, sementara kebijakan yang bersifat struktural, yang dapat mengatasi masalah mendasar, sering kali terabaikan. Seolah-olah, pemerintah ingin membungkus masalah kesehatan dengan kampanye hidup sehat, namun tidak melakukan pembenahan pada sistem yang sesungguhnya sakit. Begitu pula dengan kebijakan pendidikan yang semakin dikendalikan oleh pasar, mempersulit akses untuk memperoleh pendidikan berkualitas yang seharusnya menjadi hak setiap warga negara.

Memaksa rakyat untuk sehat tanpa memberikan mereka akses yang layak terhadap pendidikan dan kesehatan adalah bentuk ketidakadilan yang semakin menambah derita. Apa artinya hidup sehat jika masyarakat tidak memiliki kesempatan yang setara untuk memperoleh pendidikan yang layak dan berdaya saing? Atau bagaimana bisa diharapkan masyarakat tetap sehat jika kebijakan-kebijakan kesehatan yang ada justru membuat mereka terpinggirkan, baik secara sosial maupun ekonomi?

Sudah saatnya pemerintah berhenti mengedepankan kebijakan yang hanya sekadar terlihat baik di permukaan, namun tidak menyelesaikan masalah utama yang ada. Negara ini harus mulai memperbaiki sistem yang ada, dengan menyediakan akses yang adil dan merata di sektor kesehatan, pendidikan, dan politik. Tanpa itu, segala upaya untuk “memaksa sehat” hanya akan menjadi sebuah ironi yang semakin meminggirkan masyarakat yang telah lama terabaikan.

Agar rakyat bisa benar-benar sehat, negara harus sehat terlebih dahulu – dalam sistem politik yang adil, kebijakan yang berpihak pada rakyat, dan pendidikan yang tidak dikapitalisasi. Ini adalah panggilan untuk perubahan yang mendasar, bukan hanya kosmetik belaka.

( Red )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *