Ada satu hal yang selalu diulang dalam sejarah negeri ini: rakyat kecil dipersalahkan karena bertahan hidup.
Sukahaji, sebuah sudut kecil di Bandung Barat, adalah saksi bisu betapa nyawa manusia kerap dianggap lebih murah dari sebidang tanah. Sejak 1985, para warga datang bukan untuk merampas, melainkan untuk menjemput harapan. Tanah itu kosong, terlantar, tidak dipakai siapa pun. Atas seizin pemerintah setempat, mereka mulai menggemburkan tanah, menanam padi, menyusun kebun sederhana dari keringat mereka sendiri. Di lahan yang tak bertuan itu, kehidupan perlahan tumbuh.
Mereka bukan penyerobot. Mereka perawat tanah. Yang menanam sebelum meminta. Yang menghidupkan sebelum mengklaim. Mereka tahu: di negeri ini, menunggu keadilan datang ibarat menunggu hujan di musim kemarau. Maka mereka ciptakan keadilan kecil-kecilan untuk diri sendiri—dengan kerja keras, dengan tangan sendiri.
Namun, hidup rakyat kecil tak pernah bebas dari bayangan kekuasaan.
Tahun 1990-an, proyek jalan tol Purbaleunyi melintas. Sebagian lahan Sukahaji masuk daftar pembebasan. Tapi ironinya, setelah dibebaskan, sebagian besar lahan dibiarkan kosong. Negara, setelah mengambil hak, justru lupa menata. Dan rakyat yang ditinggalkan di sisa-sisa lahan itu memilih bertahan. Karena ke mana lagi mereka harus pergi?
Tahun demi tahun, Sukahaji bukan lagi sekadar lahan garapan. Ia berubah menjadi kampung. Rumah-rumah sederhana berdiri, anak-anak lahir dan tumbuh di sana, mushola berdiri, suara azan berkumandang, iuran RT dikumpulkan. Sukahaji menjadi rumah dalam arti sesungguhnya. Tempat berpulang, bukan sekadar tempat berlindung.
Namun pada 2009, badai pertama datang.
Seseorang tiba-tiba mengaku pemilik sah tanah tersebut. Bersandar pada sertifikat yang entah dari mana asalnya, ia menuntut warga pergi. Warga menolak, karena tak pernah ada proses yang jelas. Mereka mempertanyakan, mengapa selama puluhan tahun negara diam? Mengapa hak mereka yang dibangun dengan peluh dan airmata dianggap tak berarti?
Sejak saat itu, tekanan demi tekanan datang tanpa henti.
Tahun 2018, kebakaran besar melanda. Puluhan kios dan rumah ludes terbakar. Ajaibnya, hanya tiga hari setelah api padam, surat penggusuran pun tiba. Terlalu kebetulan untuk disebut tak disengaja.
Warga bertahan. Tapi mereka tak diberi jeda bernapas.
Tahun 2022, api kembali membara. Enam rumah habis dilalap si jago merah.
Lalu menjelang Lebaran 2024, mereka ditawari “kompensasi” yang tak manusiawi: Rp750 ribu per kepala keluarga.
Apa yang bisa dibeli dengan uang sebesar itu? Bahkan untuk sekadar menyewa kontrakan pun tak cukup. Warga menolak. Harga diri mereka jauh lebih mahal dari angka di selembar kertas.
Maret 2025, ultimatum datang. Mereka diberi tenggat hingga 7 April untuk meninggalkan tanah itu, tanpa proses pengadilan, tanpa keputusan hukum yang adil. Negara seperti memihak pemilik modal, meninggalkan warganya dalam ketakutan.
Memasuki awal April, intimidasi makin brutal. Ada yang menerima ancaman, ada rumah yang hampir dibakar. Teror psikologis dilancarkan agar warga pergi tanpa perlawanan.
Tapi pada 7 April, warga berkumpul. Mereka berdiri bahu membahu, menolak pengosongan paksa.
Esok harinya, 8 April, mereka meminta perlindungan hukum ke pemerintah daerah dan gubernur. Mereka tak lelah meminta keadilan, meski pintu-pintu kekuasaan tampak tertutup.
Dan seolah tak cukup penderitaan itu, tanggal 9 April, api kembali menjilat langit Sukahaji. Kebakaran ketiga, yang terjadi tepat di tengah ketegangan antara warga dan pihak yang mengklaim tanah tersebut.
Hari ini, Sukahaji bukan sekadar cerita tentang sengketa lahan. Ini tentang bagaimana negara kerap abai pada yang paling lemah, tentang bagaimana api tak hanya membakar rumah, tapi juga membakar harapan. Tentang bagaimana rakyat kecil dipaksa tunduk oleh permainan kertas bersertifikat, sementara mereka yang pertama kali menghidupkan tanah itu dianggap tak pernah ada.
Tapi ada satu hal yang tak bisa dibakar:
Perlawanan mereka.
Api bisa melahap rumah, tapi tidak nyala tekad warga Sukahaji.
Sukahaji adalah cermin wajah republik ini. Wajah yang lelah, penuh luka, namun belum menyerah.
Di negeri ini, tanah bisa dibeli. Tapi keberanian rakyat tak pernah bisa dibeli.”
( Edi )